Cari Blog Ini

My_ISRA Rahmatan Lil'alamin

Senin, 13 Maret 2017

PEMILIHAN PEMIMPIN NON MUSLIM DALAM ISLAM


PEMILIHAN PEMIMPIN NON MUSLIM DALAM ISLAM

Al-Qur'an surat al-Maaidah ayat 51

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin (awliya) mu; sebagian mereka adalah “awliya” bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi “awliya”, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maaidah : 51)
Dan ayat-ayat yang serupa seperti an-nisaa’ ayat 144 serta lainnya.

LANDASAN PEMIKIRAN PENDAPAT YANG MENGHARAMKAN;

  1. Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i yang wafat di abad 8 H. Ia menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan juga aparat dari kalangan kafir dzimmi.

وَلَا يجوز تَوْلِيَة الذِّمِّيّ فِي شَيْء من ولايات الْمُسلمين إِلَّا فِي جباية الْجِزْيَة من أهل الذِّمَّة أَو جباية مَا يُؤْخَذ من تِجَارَات الْمُشْركين. فَأَما مَا يجبى من الْمُسلمين من خراج أَو عشر أَو غير ذَلِك فَلَا يجوز تَوْلِيَة الذِّمِّيّ فِيهِ، وَلَا تَوْلِيَة شَيْء من أُمُور الْمُسلمين، قَالَ تَعَالَى: {وَلنْ يَجْعَل الله للْكَافِرِينَ على الْمُؤمنِينَ سَبِيلا} وَمن ولى ذِمِّيا على مُسلم فقد جعل لَهُ سَبِيلا عَلَيْهِ.
Tidak boleh mengangkat dzimmi untuk jabatan apapun yang mengatur umat Islam kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau untuk memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin. Sedangkan untuk memungut upeti, pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya dari penduduk muslim, tidak boleh mengangkat kalangan dzimmi sebagai aparat pemungut retribusi ini. Dan juga tidak boleh mengangkat mereka untuk jabatan apapun yang menangani kepentingan umum umat Islam.
Allah berfirman, “Allah takkan pernah menjadikan jalan bagi orang kafir untuk mengatasi orang-orang beriman.” Siapa yang mengangkat dzimmi sebagai pejabat yang menangani hajat muslim, maka sungguh ia telah memberikan jalan bagi dzimmi untuk menguasai muslim. (Lihat Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i, Tahrirul Ahkam fi Tadbiri Ahlil Islam, Daruts Tsaqafah, Qatar, 1988).
  1. Secara linguistik, menjadikan mereka sebagai awliyāʾ atau wali-wali itu berarti dua hal: yaitu, memberikan dukungan dan pembelaan –jika lafaznya dibaca walāyah (dengan fathah), dan menyerahkan mandat atau memberi kekuasaan –jika lafaznya dibaca wilāyah (dengan kasrah). Demikian menurut ar-Rāghib al-Iṣfahāni dalam kitab Mufradāt Alfāẓ al-Qurʾān (ed. Ṣafwān ʿAdnān Dāwūdī, cet. Dār al-Qalam Damaskus,1412/1992, hlm. 885). Maka secara politis dan geografis, muwālatul kuffār tidak hanya berarti menjalin kerjasama atau beraliansi, tetapi juga menyerahkan “wilayah” kita kepada orang kafir. 
  2. Mereka yang mengharamkan melandaskan dengan keumuman ayat di atas dan beberapa ayat lainnya yang senada, juga dengan kisah Umar bin Khottob yang memerintahkan dua gubernurnya (Abu Musa al-Asy’ari dan Kholid bin Walid) untuk memecat asistennya di bidang administrasi dan keuangan yang berasal dari non muslim. Riwayat lengkap tentang kisah tersebut dinukil oleh Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad. Teksnya lengkapnya sebagai berikut:

عن أبي موسى رضي الله عنه قال: (قلت لعمر رضي الله عنه: إن لي كاتبا نصرانيا، قال: ما لك قاتلك الله، أما سمعت الله يقول: (يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض)- ألا اتخذت حنيفا؟ قال: قلت يا أمير المؤمنين: لي كتابته و له دينه. قال: لا أكرمهم إذ أهانهم الله، ولا أعزهم إذ أذلهم الله، و لا أدنيهم إذ أقصاهم الله.
Dari Abu Musa ra, ia berkata : Saya katakan pada Umar bahwa saya mempunyai seorang sekretaris nashrani, maka Umar mengatakan : Ada apa denganmu, semoga Allah SWT membunuhmu, apakah engkau tidak dengar Allah SWT berfirman : “wahai orang-orang yang beriman janganlah menjadikan orang yahudi dan nashroni sebagai pemimpin/kesayangan “?. Saya katakan pada Umar: bagiku adalah tulisannya, dan bagi dia adalah agamanya “. Umar mengatakan : ” Tidak akan aku muliakan mereka ketika Allah telah menghinakan mereka ” … dst

فقد كتب خالد بن الوليد رضي الله عنه إلى عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول: “إن بالشام كاتبا نصرانيا لا يقوم خراج الشام إلا به” فكتب إليه: “لا تستعمله.” فكتب: “إنه لا غنى بنا” عنه، فكتب إليه عمر: “لا تيتعمله.” فكتب إليه: “إذا لم نوله ضاع المال.” فكتب إليه عمر رضي الله عنه: “مات النصراني و السلام

Artinya : Kholid bin walid menulis kepada Umar bin Khottob : di Syam (kami punya) juru tulis, yang penghitungan keuangan (khoroj) tidak akan lancar tanpanya. Maka Umar menjawab : ” jangan gunakan dia “. Kholid menjawab kembali : ” Kami sangat membutuhkannya”. Umar menulis kembali : “Jangan gunakan dia !”. Kholid menulis kembali:” Kalau kami tidak menggunakannya, akan hilang uang kami”. Umar mengakhiri dengan mengatakan :” Semoga Nashrani itu mati. wassalam”

  1. Imam an-Nawawī, seorang pentolan mazhab Syāfiʿī yang diakui otoritasnya sebagai ahli fiqih dan ahli hadits sekaligus, dengan sangat eksplisit menyatakan dalam kitabnya bahwa syarat-syarat menjadi pemimpin (syurūṭ al-imāmah) itu mestilah akil baligh (kawnuhu mukallafan), orang Islam (musliman), adil, merdeka (bukan budak), laki-laki, berilmu (ʿāliman), berijtihad (mujtahidan), pemberani, mempunyai visi dan kompetensi (dzā raʾyin wa kafāʾah), dan sehat pendengaran maupun penglihatan (Lihat: Rawḍat aṭ-Ṭālibīn, ed. Syeikh ʿĀdil Aḥmad ʿAbdul Mawjūd dan ʿAlī Muḥammad Muʿawwaḍ, cet. Dār ʿĀlam al-Kutub, Riyadh 1423/2003, jilid 7, hlm. 262).
Pernyataan senada akan kita temukan dalam literatur fiqih rujukan di kalangan Nahdlatul Ulama seperti kitab al-Iqnāʿ fī ḥalli alfāẓ Abī Syujāʿ karya al-Khaṭīb as-Syarbīnī (cet. Muṣṭafā al-Bāb al-Ḥalabī Kairo, 1359/1940, juz 2, hlm. 246).
Pun secara historis, Rasūlullāh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah menunjuk orang kafir (walaupun mereka itu warganegara Madinah) sebagai gubernur (dulu istilahnya ‘āmil dan wālī) ataupun panglima (amīr). Demikian juga para khulafāʾ sesudahnya dari Sayyidina Abu Bakar hingga zaman Ottoman (Usmaniyyah) tidak pernah seorang pun mengangkat orang kafir sebagai gubernur atau panglima militer –sama halnya penguasa Singapura tidak membenarkan orang Melayu warganegara itu memegang tampuk kekuasaan apalagi dalam ketentaraan.
Sepanjang sejarah Islam, orang-orang non-Muslim memang dijamin keselamatannya dan dilindungi hak-haknya sebagai warganegara karena mereka itu ahlu dzimmah, kecuali jika mereka berkhianat atau melanggar perjanjian.
  1. Dalam kitab Ghiyāts al-Umam fī ʾltiyāts aẓ-Ẓulam karya Imām al-Ḥaramayn Abū ’l-Maʿālī al-Juwaynī yang dengan tegas mengatakan bahwa orang kafir tidak boleh sama sekali ikut campur dalam urusan pemilihan kepala daerah atau negara: “wa lā madkhala li-ahli dz-dzimmah fī naṣbi ’l-aʾimmah” (ed. ʿAbd al-ʿAẓīm ad-Dīb, cet. al-Maktabāt al-Kubrā Kairo, 1401/1981, hlm. 62).
  2. Orang kafir tidak adil kepada Allah, tidak adil kepada dirinya sendiri, dan karenanya tidak layak disebut adil dalam arti yang sesungguhnya. Karena makna adil itu memenuhi hak siapapun. Dan orang kafir itu tidak memenuhi hak Allah, dan tidak memenuhi hak dirinya sebagai hamba Allah. Perintah berbuat adil dalam al-Qur’an selalu ditujukan kepada orang beriman (yā ayyuha’l-ladzīna āmanū). Dalam konteks pelimpahan wewenang peradilan dan pemerintahan, sebagaimana dijelaskan oleh as-Sayyid al-Bakrī bin as-Sayyid Muḥammad Syaṭāʾ ad-Damyāṭī, yang dimaksud dengan “adil” menurut Syarīʿah ialah kemampuan diri seseorang [pemangku jabatan] untuk tidak melakukan dosa-dosa besar maupun tindakan-tindakan biasa yang bisa menjatuhkan reputasinya (Lihat: Iʿānatu ’ṭ-Ṭālibīn ʿalā Fatḥi ’l-Muʿīn, cet. al-Maʿārif Bandung, t.t.,hlm.211-212). Ini berarti yang bersangkutan mestilah seorang muslim yang beriman.

LANDASAN PEMIKIRAN PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN dari Uraian perincian berikut ini

  1. Al-Mawardi yang juga bermadzhab Syafi’i. Ulama yang wafat pada pertengahan abad 5 H ini memberikan tafshil, rincian terhadap jabatan.
ويجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة وإن لم يجز أن يكون وزير التفويض منهم
Posisi pejabat ini (tanfidz/eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi (non muslim yang siap hidup bersama muslim). Namun untuk posisi pejabat tafwidh (pejabat dengan otoritas regulasi, legislasi, yudikasi, dan otoritas lainnya), tidak boleh diisi oleh kalangan mereka. (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, Darul Fikr, Beirut, Cetakan 1, 1960, halaman 27).
Al-Mawardi dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah menguraikan lebih rinci. Menurutnya, kekuasaan dibagi setidaknya menjadi dua, tafwidh dan tanfidz. Kuasa tafwidh memiliki cakupan kerja penanganan hukum dan analisa pelbagai kezaliman, menggerakkan tentara dan mengatur strategi perang, mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi. Untuk pejabat tafwidh, Al-Mawardi mensyaratkan Islam, pemahaman akan hukum agama, merdeka.
Sementara kuasa tanfidz (eksekutif) mencakup pelaksanaan dari peraturan yang telah dibuat dan dikonsep oleh pejabat tafwidh. Tidak ada syarat Islam, alim dalam urusan agama, dan merdeka.
Dari uraian ini terdapat klarifikasi antara TAFWIDH  DAN TANFIDZ (Pelaksana dari peraturan yang dibuat oleh TAFWIDH)
Tinggal bagaimana kita memandang jabatan tersebut termasuk TAFWIDH  ATAU TANFIDH,
Jika dikaitkan dengan kenegeraan indonesia, bukanlah negera Islam .... yang peraturannya berlandaskan pada UUD 1945 dan PANCASILA sedangkan secara pengembangannya bermunculan peraturan-peraturan yang aplikatif... bergantung kepada para pemangku JABATAN.
  1. Imam Fakhruddin – Arrozi dalam Tafsir Mafatihul Ghoib, ketika menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa : Yang dilarang adalah menjadikan Non Muslim pemimpin mutlak (sendiri) tanpa ada orang beriman di sana. Beliau menyatakan :
لم لا يجوز أن يكون المراد من الآية النهي عن اتخاذ الكافرين أولياء بمعنى أن يتولوهم دون المؤمنين، فأما إذا تولوهم و تولوا المؤمنين معهم فذلك ليس بمنهي عنه
Mengapa tidak boleh jika yang dimaksudkan (pelarangan) dalam ayat adalah menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, artinya : mengangkat mereka tanpa mengangkat orang mungkin. Jika mengangkat non muslim dan pada saat yang sama juga mengangkat orang mukmin bersamanta, maka hal tersebut tidaklah dilarang.
Ungkapan di atas menunjukkan, sekiranya seorang muslim mengangkat non muslim untuk jabatan tertentu tetapi mereka juga mengangkat orang muslim bersamanya, maka hal itu tidak termasuk yang dilarang dalam ayat.
  1. Sayyid Tantowi dalam Tafsir Al-Wasith, ketika menafsirkan ayat Muwalah di atas, beliau menyebutkan: Al-Muwalah yang dilarang adalah yang mengakibatkan kerugian kaum muslimin dan agama, bukan muwalah atau kerja sama secara umum. Teks arabnya sebagai berikut:

و الموالاوة الممنوعة هي التي يكون فيها خذلان للدين أو إيذاء لأهله أو إضاعة لمصالحهم
Artinya : ”Muwalaah (dukungan dan pengangkatan atas non muslim) yang dilarang adalah : yang di dalamnya ada unsur tipuan dan penistaan agama, atau mengganggu dan merugikan kaum muslimin, dan mengapus kemaslahatan mereka ” (Tafsir Al-Wasith)

Sehingga, muwalah atau dukungan dengan syarat bermanfaat bagi umat dan agama, tidak termasuk muwalah yang disebutkan dalam ayat di atas.

  1. Dr. Yusuf Qardhawi dalam dua bukunya[iii] menyebutkan secara spesifik persoalan ini. Dalam kitab Ghoiril muslimin fi mujtamak muslim, beliau mengatakan :

و لأهل الذمة الحق في تولى وظائف الدولة كالمسلمين، إلا ما غلب عليه الصبغة الدينية كالإمامة و رئاسة الدولة و القيادة في الجيش، و القضاء بين المسلمين، و الولاية على الصدقات، و نحو ذلك.
dan bagi ahli dzimmah (ada) hak dalam menjabat posisi-posisi dalam negara sebagaimana halnya kaum muslimin, kecuali pada jabatan-jabatan yang lebih dominan unsur keagamannya, seperti: imamah (khilafah), kepala negara, panglima militer, hakim, dan yang mengurusi sedekah, dan yang semacamnya”

  1. PANDANGAN KEADAAN DARURAT ANTARA MUSLIM KHIANAT DAN AHLU DZIMMAH YANG AMANAH, Yang bersifat Subyektif-Pemikiran DAPAT MENJADI KEBOLEHAN DAN JUGA MASIH PELARANGAN
Tuhfah al-Muhtaj dan Hawasyi al-Syarwani, Juz IX, h. 72
ولا يستعان عليهم بكافر ) ذمي أو غيره إلا إن اضطررنا لذلك
قول المتن: ولا يستعان إلخ) أي يحرم ذلك اه. سم, عبارة المغني والنهاية: (تنبيه) ظاهر كلامهم أن ذلك لا يجوز ولو دعت الضرورة إليه لكنه في التتمة صرح بجواز الاستعانة به أي الكافر عند الضرورة

awasyi al-Syarwani, Juz IX, h. 73

نعم ان قتضت المصلحة توليته في شىء لا يقوم به غيره من المسلمين او ظهر من المسلمين خيانة و امنت في ذمي فلا يبعد جواز توليته لضرورة القيام بمصلحة ما ولى فيه، و مع ذلك يجب على من ينصبه مراقبته و منعه من التعرض لاحد من المسلمين

Kanz al-Raghibin dan Hasyiyah al-Qulyubi, Jilid IV, h. 156
ولا يستعان عليهم بكافر) لأنه يحرم تسليطه على المسلمين
قوله: ولا يستعان) فيحرم إلا لضرورة
Demikianlah, pendapat yang membolehkan memiliki krateria, keadaan atau sesuatu yang dapat disebut dengan pengecualin, tinggal bagaimana kita menanggapi fenomena Kehidupan
DEMIKIAN SEMOGA BERMANFAAT, 
SEMOGA DAPAT MENJADI KOREKSI UNTUK PRIBADI AGAR DAPAT MENAMBAH WAWASAN DAN KLARIFIKASI REFERENSI

0 komentar: