Hukum Makmum Pada Imam UMMI
disertai penjelasan tentang ;
- hukum al-fatihah dalam sholat
- hukum makmum pada imam Ummi
- kesalahan bacaan al-Fatihah yang Merubah makna
- Kesimpulan dan Saran
Hukum alfatihah dalam sholat
Membaca Surat al Fatihah merupakan salah satu dari rukun yang dibaca di setiap rakaat shalat, pada shalat fardlu dan shalat sunnah, shalat jahar dan shalat sir. Kewajiban ini bagi imam, makmum, ataupun yang shalat sendirian -sebagaimana yang dicantumkan oleh Imam al Bukhari sebagai bab dalam kitab al Shalah- berbeda dengan pendapat para fuqaha yang terdahulu maupun sekarang.
Membaca Surat al Fatihah merupakan salah satu dari rukun yang dibaca di setiap rakaat shalat, pada shalat fardlu dan shalat sunnah, shalat jahar dan shalat sir. Kewajiban ini bagi imam, makmum, ataupun yang shalat sendirian -sebagaimana yang dicantumkan oleh Imam al Bukhari sebagai bab dalam kitab al Shalah- berbeda dengan pendapat para fuqaha yang terdahulu maupun sekarang.
Dan pendapat yang paling benar
–wallahu a'lam- adalah pendapatnya imam al Syafi'i, imam al Bukhari, jama'ah
ahli hadits, dan selainnya. Yaitu imam dan makmum wajib membaca surat al
Fatihah baik dalam shalat jahriyah maupun shalat sirriyah.
Kesimpulan di atas didasarkan pada
beberapa hadits berikut ini:
1.
Hadits Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam bersabda:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat bagi yang tidak
membaca al Fatihah.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)
2.
Dari Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu, Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam bersabda:
“Barangsipa yang mengerjakan shalat dan
tidak mmbaca Ummul Qur’an (al Fatihah) di dalamnya, maka shalatnya terputus
–beliau mengucapkannya tiga kali- dan tidak sempurna. Dikatakan kepada Abu
Hurairah radliyallaahu 'anhu, “sesungguhnya kami shalat di belakang imam.” Maka
beliau berkata, “bacalah dalam hatimu.” (Hadits shahih riwayat. Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah)
3.
Dari Ubadah bin Shamit berkata, “kami shalat Shubuh di
belakang Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam lalu beliau membaca ayat dan
kelihatannya beliau mendapat kesulitan dalam membacanya. Setelah selesai beliau
bertanya, “barangkali kalian ikut membaca di belakang imam kalian?” kami
menjawab, “benar, dengan suara lirih wahai Rasulullah.” Beliau bersabda:
لَا تَفْعَلُوا إِلَّا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَإِنَّهُ لَا
صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا
“Janganlah lakukan, kecuali
membaca al Fatihah, karena tidak sah shalat bagi yang tidak membacanya.”
(HR. Abu Dawud, hadits ini dicantumkan imam al Nawawi dalam Syarh Shahih
Muslim: IV/123)
Hukum makmum pada Imam salah baca al Fatihah
Diantara
persyaratan seorang bisa menjadi imam dalam shalat adalah memiliki kemampuan
untuk membaca Al Qur’an dengan benar dan memiliki sejumlah hafalan tertentu
menjadi sebab sahnya shalat.
Persyaratan
itu bisa dianggap jika orang-orang yang bermakmum kepadanya adalah orang-orang
yang memiliki kemampuan dalam membaca Al Qur’an.
tidaklah
sah imamnya seorang yang ummi (tidak bisa baca Al Qur’an) terhadap orang yang
bisa membacanya, tidaklah sah imamnya seorang yang bisu terhadap orang yang
bisa membaca Al Qur’an atau terhadap orang yang ummi karena membaca adalah
salah satu rukun didalam shalat. Tidaklah sah makmumnya seorang yang pandai
membaca Al Qur’an dibelakang orang yang tidak pandai membacanya karena imam
adalah penjamin dan yang bertanggungjawab terhadap bacaan makmumnya dan ini
tidaklah mungkin terdapat didalam diri orang yang ummi.
Adapun
imamnya seorang yang ummi untuk orang yang ummi juga atau bisu maka
diperbolehkan, ini merupakan kesepakatan para fuqaha. Kemudian imamnya seorang
yang selalu mengulang huruf fa’ atau ta’ atau yang melantunkan dengan suatu
lantunan yang tidak merubah arti maka ia makruh menurut para ulama madzhab
Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut para ulama Hanafi bahwa seorang yang
selalu mengulang huruf fa’ atau ta’ atau yang mengucapkan huruf siin menjadi
tsa atau ro’ menjadi ghoin atau sejenisnya maka ia dilarang untuk menjadi imam.
Menurut para ulama Maliki keimaman mereka dibolehkan. (al Mausu’ah al Fiqhiyah
juz II hal 2149)
Jumhur
ulama (para ulama Hanafi, Maliki dan Hambali) menagatakan bahwa janganlah
seorang makmum lebih kuat (mampu) keadaannya dalam membaca Al Qur’an daripada
imamnya. Tidak diperbolehkan seorang pandai membaca Al Qur’an bermakmum dengan
seorang yang ummi tidak dalam shalat wajib maupun sunnah. Tidak diperbolehkan
seorang yang sudah baligh bermakmum dengan anak kecil, tidak diperbolehkan
seorang yang mampu melakukan ruku’ dan sujud bermakmum dengan orang yang tidak
mampu melakukan keduanya.
Demikian
pula tidak sah makmumnya seorang yang sehat dibelakang orang yang sakit seperti
penderita enuresis. Tidak sah makmumnya seorang yang menutup aurat dibelakang
orang yang tampak auratnya sebagaimana pendapat para ulama Hanafi dan Hambali
sementara hal itu dimakruhkan oleh Maliki,
Para
ulama Hanafi menyebutkan sebuah kaidah dalam permasalahan ini,”Pada dasarnya
keadaan imam walaupun seperti keadaan makmumnya atau lebih diatasnya maka
shalat mereka semua dibolehkan. Akan tetapi jika imamnya dibawah kualitas
makmum maka shalatnya imam sah dan shalat makmumnya tidaklah sah. Dan jika
imamnya ummi sementara makmumnya seorang yang pandai membaca Al Qur’an atau
imamnya bisu maka shalat imamnya juga tidak sah.
Para
ulama Hanafi telah memperluas penerapan prinsip ini pada banyak permasalahan.
Kadah ini diikuti oleh para ulama Maliki dan Hambali sementara para ulama
Syafi’i menentang mereka dibanyak permasalahan. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II
hal II 1899) Adapun
jika dalam shalat berjama’ah, imam salah dalam membaca surat al Fatihah dan
kesalahannya sampai merubah makna maka shalatnya batal, sebagaimana pendapat
madhab Maliki. Seperti membaca (أَنْعَمْتَ : an'amta) dibaca (أَنْعَمْتُ :
an'amtu), maka itu telah merubah makna dan ini membatalkan shalatnya. Bahkan,
menurut Malikiyah, jika dia sengaja membaca seperti itu maka dia murtad. Sedangkan
jika salah dalam membaca huruf ض di baca ظ atau di antara keduanya, maka
shalatnya sah.
Menurut Syaikh Musaid bin Basyir
‘Ali, Muhaddits dari Sudan, pendapat yang benar, shalat di belakang imam yang
salah membaca al Fatihah adalah sah kecuali kalau kesalahannya itu sampai
merubah makna. Dan apabila sampai merubah makna maka tidak boleh shalat di
belakangnya kecuali dalam kondisi dharurat.
Ada pendapat dalam mazhab Syafi'i
yang membolehkan bermakmum pada imam yang ummi. Abu Husain Al-Yamani dalam
Al-Bayan fi Madzhab Al-Syafi'i hlm. 2/405-406 menyatakan:
والثالث خرجه أبو إسحاق المروزي على
هذا التعليل: تصح صلاته خلفه بكل حال؛ لأن على القول الجديد، يلزم المأموم القراءة
بكل حال، هذا مذهبنا.
Artinya: Pendapat ketiga dikeluarkan
oleh Abu Ishaq Al-Maruzi berdasarkan alasan ini (yakni argumen bahwa tidak
sahnya qari' bermakmum pada imam ummi karena imam menanggung Fatihah-nya makmum
menurut qaul qadim): Sah shalat makmum di belakang imam yang ummi dalam segala
keadaan. Karena, menurut qaul jadid, makmum wajib membaca Al-Fatihah dalam
keadaan apapun (berjamaah atau sendirian). Ini adalah pendapat mazhab kita
(Syafi'iyah).
Imam Syafi'i sendiri dalam qaul
qadim menyatakan bahwa imam yang fasih fatihahnya sah bermakmum pada imam yang
ummi asalkan dalam shalat sirriyyah (zhuhur dan ashar). Abu Husain Al-Yamani
dalam Al-Bayan fi Madzhab Al-Syafi'i hlm. 2/405-406 menyatakan:
والقول الثاني قاله الشافعي في القديم
: ( إن كانت الصلاة سرية صحت صلاة القاريء خلفه, وإن كانت جهرية.. لم تصح) لآن
القراءة لا تجب على المأموم في الجهرية بل يتحملها الإمام على القول القديم وهذا
الإمام عاجز عن التحمل, فلم تصح كالحاكم إذا كان لا يحسن الحكم فإنه لا يصح حكمه
وإذا كانت سرية.. لزمت المأموم القراءة, وهو قادر عليها, فجاز له أن يأ تم بمن
يعجز عنها, كصلاة القائم خلف القاعد
Artinya:
Pendapat kedua dikatakan oleh Imam Syafi'i dalam qaul qadim: Apabila shalatnya
sirriyyah maka sah shalatnya qari' (makmum yang fasih fatihahnya) di belakang
imam yang ummi. Apabila shalat jahriyyah (maghrib, isya', shubuh) .. tidak sah.
Karena, bacaan Al-Fatih itu tidak wajib bagi makmum pada shalat jahriyyah
karena ditanggung oleh imam menurut qaul qadim sedangkan imam tersebut tidak
mampu menanggungnya maka tidak sah shalatnya makmum sebagaimana hakim apabila
tidak pandai hukum maka ia tidak sah keputusannya. Apabila shalat sirriyyah ..
maka wajib bagi makmum membaca Al-Fatihah sedangkan dia mampu membacanya maka
boleh baginya bermakmum pada imam yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan
baik sebagaimana shalatnya makmum yang mampu berdiri di belakang imam yang
duduk.
Ibnu
Qudamah mengatakan bahwa barangsiapa yang meninggalkan satu huruf dari
huruf-huruf dalam surat al Fathihah dikarenakan kelemahan membacanya atau
merubahnya dengan huruf yang lain, seperti orang yang al altsagh (merubah huruf
ro’ menjadi ghoin), al arotti (orang yang mengidghomkan satu huruf ke huruf lainnya)
atau melagukan dengan dengan lagu yang merubah makna seperti orang yang
mengkasrohkan huruf kaf pada iyyaka atau orang yang mendhommahkan huruf ta’
pada an’amta dan tidak mampu memperbaikinya maka orang itu adalah seperti
seorang yang ummi dan tidak diperbolehkan bagi seorang yang pandai membaca al
Qur’an bermakmum kepadanya.
Dan
diperbolehkan bagi setiap mereka menjadi imam bagi orang yang memiliki bacaan
seperti dirinya karena keduanya adalah orang yang ummi, diperbolehkan bagi
salah seorang dari mereka berdua menjadi imam bagi seorang lainnya seperti dua
orang yang tidak bisa memperbaiki bacaannya sedikit pun.
Sedangkan
apabila seorang yang mampu memperbaiki bacaannya namun ia tidak melakukannya
maka shalatnya tidak sah begitu juga dengan shalat orang yang bermakmum
dengannya. (al Mughni juz II hal 411)
Mufaraqah
Dari Imam Sholat Yang Buruk Bacaannya
Tentang
niat mufaroqoh (memisahkan diri) seorang makmum dari imam lalu dia
menyelesaikan shalatnya sendirian baik karena adanya uzur atau tidak maka ini
boleh meskipun makruh menurut para ulama Syafi’i karena ia memisahkan diri dari
berjama’ah yang merupakan kewajiban atau sunnah yang muakkad.
Sedangkan
menurut para ulama Hambali bahwa mufaroqoh dibolehkan jika terdapat uzur.
Sedangkan jika tidak terdapat uzur didalamnya maka dalam hal ini terdapat dua
riwayat, pertama : shalat orang yang mufaraqoh itu tidak sah, pendapat inilah
yang benar. Kedua : shalatnya sah.
Para
ulama Syafi’i mengecualikan pada shalat jum’at…
Diantara
perkara-perkara yang dikatakan uzur seperti : panjanganya bacaan imam,
meninggalkan salah satu sunnah shalat seperti tasyahhud awal, qunut—maka
dirinya boleh mufaroqoh dengan mengerjakan sunnah itu—atau sakit, khawatir
dirinya diserang rasa ngantuk, terdapat sesuatu yang merusak shalatnya, takut
hartanya hilang atau rusak, ketinggalan rombongan, atau terdapat orang yang
meninggalkan shaff lalu tidak ada orang menggantikannya untuk berdiri
disampingnya.
Dalil
mereka adalah apa yang disebutkan didalam ash shahihain,”Bahwa Muadz
melaksanakan shalat isya bersama para sahabatnya dan ia memanjangkan
(bacaannya) lalu terdapat seorang laki-laki yang keluar (dari shaff) dan
mengerjakan shalat. Kemudian Muadz mendatangi Nabi saw dan menceritakannya dan
Rasulullah saw pun marah dan mengingkari apa yang dilakukan Muadz dan beliau
saw tidak mengingkari apa yang dilakukan lelaki itu serta beliau saw tidak
memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.”
Para
ulama Hanafi mengatakan bahwa boleh seorang makmum melakukan salam sebelum imam
meski hal itu makruh, akan tetapi mereka tidak mempebolehkan melakukan
mufaroqoh. Sedang para ulama Maliki mengatakan barangsiapa yang bermakmum
dengan seorang imam maka tidak boleh baginya melakukan mufaroqoh. (al Fiqhul
Islami wa Adillatuhu juz II 1227)
Jadi
mufaroqoh yang anda lakukan ketika terdapat uzur termasuk bacaan imam yang
tidak baik dalam al Fatihah diperbolehkan menurut madzhab Syafi’i dan Hambali.
Meskipun hal itu diperbolehkan akan tetapi apabila dilakukan terus menerus
tentunya akan menjadi perhatian para makmum lain yang ada di sekitar anda bisa
jadi diantara mereka terdapat orang-orang awam yang tidak memahami hukum-hukum
yang berkaitan dengan shalat secara baik sehingga dikhawatirkan memunculkan
fitnah karena ketidaktahuan mereka.
Untuk
itu ada baiknya anda mengingatkan permasalahan ini kepada imam tersebut dengan
cara yang penuh hikmah dan bijaksana serta sebisa mungkin dilakukan secara
sembunyi antara anda dan dirinya saja dan meminta agar yang bersangkutan
memperbaiki bacaannya atau jika tidak bisa agar menyerahkan keimamannya kepada
orang yang lebih baik bacaannya.
Jika
nasehat atau peringatan yang anda sampaikan kepadanya tidaklah diterima atau
dijalaninya sehingga orang itu tetap saja bersikukuh untuk menjadi imam
shalat-shalat fardhu di masjid anda sementara kualitas bacaannya masih tidak
baik (buruk) maka hendaklah anda mencari masjid lain sekitar rumah anda yang
bacaan imamnya baik meski hal itu menjadikan berkurangnya jumlah makmum di
masjid tempat anda. Dikarenakan sahnya shalat seseorang didalam shalat
berjama’ah dipengaruhi juga oleh kualitas bacaan imam. Oleh karena itu setiap
orang bertanggung jawab untuk menentukan siapa imam shalatnya sehingga
shalatnya menjadi sah.
Bila
makmum mengetahuinya setelah rampung shalat maka wajib mengulang shalatnya kalau
mengetahuinya ditengah-tengah shalat maka ia wajib memutus shalatnya dan
memulai lagi
( ولو اقتدى بمن ظنه أهلا ) للإمامة (
فبان خلافه ) كأن ظنه قارئا أو غير مأموم أو رجلا أو عاقلا فبان أميا أو مأموما أو
امرأة أو مجنونا أعاد الصلاة وجوبا لتقصيره بترك البحث في ذلك
( قوله أعاد ) أي المقتدي وهو جواب لو
ومحل الإعادة إن بان بعد الفراغ من الصلاة فإن بان في أثنائها وجب استئنافها
Bila
ia (seorang laki-laki) bermakmum pada imam yang menurut prasangkanya ahli/mahir
untuk menjadi imam tetapi kenyataannya berbeda seperti ia menyangka imamnya
Qaari’ (ahli baca alQuran) atau bukan berstatus makmum atau laki-laki, atau
berakal tapi kenyataannya imamnya UMMI (tidak fashih baca alquran) atau
berstatus makmum pada orang lain atau perempuan atau gila maka ia wajib
mengulang shalatnya karena sembrononya dalam rangka tidak mau meneliti imamnya
terlebih dahulu sebelum shalat.
(keterangan
maka ia wajib mengulang) bila kejelasan kenyataan imamnya setelah ia rampung
shalat tapi bila kejelasannya ditengah-tengah shalat maka ia wajib memutuskan
shalatnya dan memulainya dari awal lagi. I’aanah
at-Thoolibiin II/52
KESALAHAN AL-FATIHAH YANG MERUBAH
MAKNA
Imam
An-Nawawi -rohimahulloh- berkata:
إِذَا لحن فِي الفَاتِحَةِ لَحْناً
يُخِلُّ المَعْنَى لَمْ تَصِحْ قِرَاءَتُهُ وَصَلاَتُهُ إِنْ تَعَمَّدْ، وَتَجِبُ
إِعَادَةَ القِرَاءَة إِنْ لَمْ يَتَعَمَّدْ، وَإِنْ لَمْ يُخِلْ المَعْنَى لَمْ
تَبْطُلْ صَلاَتُهُ وَلاَ قِرَاءَتُهُ، وَلِكَنِّهُ مَكْرُوْهٌ وَيحرم
تَعَمَّدُهُ، وَلَوْ تَعَمَّده لَم تَبْطُلْ قِرَاءَتُهُ وَلاَ صَلاَتُهُ. اهـ
“Apabila
salah dalam membaca Al-Fatihah yang merusak maknanya, maka tidak sah bacaan dan
sholatnya dengan syarat ia sengaja dalam melakukan hal itu, dan wajib
mengulangi bacaannya apabila ia tidak sengaja melakukannya.
Dan
kalau tidak merusak makna, maka tidak batal sholat dan bacaannya, akan tetapi
makruh dan harom hukumnya apabila ia sengaja melakukannya, kalaupun sengaja
melakukannya maka tidak batal bacaannya.” [lihat “Majmu’” (3/393)]
AL-FAATIHAH
(PEMBUKAAN)
بسم الله الحمن الرحيم
[1] Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
~ Penambahan satu titik
pada huruf ha’ di kata yang terakhir (ar-rohiim)
menjadi (ar-rokhiim) ternyata mengubah arti.
· رَحِيْم = penyayang
· رَخِيْم = merdu
الحمدلله رب العالمين
[2] Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam.
~ Perubahan huruk ha’ pada
kata yang pertama (al-hamdu) menjadi kaf (al-kamdu)
juga mengakibatkan perubahan makna.
· اَلْحَمْدُ = pujian/segala puji
· اَلْكَمْدُ =
penderitaan, kesedihan yang sangat, kesuraman
SALAH
االهمدلله
Segala diam,
pasif dan mati untuk ALLAH Tuhan Pemelihara segala penyakit.
Jangan
menyamakan ع dengan ؤ
ئ أ
الرحمن الرحيم
[3] Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang.
~ Penambahan satu titik
pada huruf ha’ di kata yang terakhir (ar-rohiim)
menjadi (ar-rokhiim), sebagaimana telah disebutkan dalam ayat ke-1,
ternyata mengubah arti.
· رَحِيْم = penyayang
· رَخِيْم = merdu
Atau bacaan
Mengganti ح dengan خ
Maha Menurunkan penyakit melalui hujan gerimis yg berkepanjangan.
Maha Menurunkan penyakit melalui hujan gerimis yg berkepanjangan.
مالك يوم الدين
[4] Yang menguasai Hari
Pembalasan.
~ Lafal maaliki boleh
dibaca panjang (maaliki) yang berarti pemilik atau yang menguasai, dan
boleh juga dibaca pendek (maliki) yang berarti Raja.
Atau kaf panjang dapat
mengubah makna
مالكي يوم الدين
Yang Menguasaiku / Yang menjadi Tuhanku adalah
hari pembalasan. (bukan ALLAH tuhanku).
nb : memberi spasi di MALIKI ,-, YAUMIDDIN saat membaca ayat ini adalah sama dengan memanjangkan bacaaan مالك menjadi مالكي.
nb : memberi spasi di MALIKI ,-, YAUMIDDIN saat membaca ayat ini adalah sama dengan memanjangkan bacaaan مالك menjadi مالكي.
إياك نعبد وإياك نستعين
[5] Hanya Engkaulah yang
kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
اِيَّاكَ = hanya Engkau
Iyyaaka na’budu = hanya Engkau
yang kami sembah.
Wa iyyaaka nasta’iin = dan hanya kepada
Engkaulah kami meminta pertolongan.
SALAH
إيياكا نأبد وإيياكا نستئين
Kami lebih abadi dari Engkau, dan kami minta perpanjangan waktu.
Jangan
memanjangkan bacaan pendek dan jangan memendekkan bacaan panjang
Jangan menukar ع dengan إ ؤ ئ
/ ء
~ Penghilangan tasydid atau syiddah pada
lafal iyyaaka menjadi iyaaka ternyata
mengakibatkan perubahan makna yang sangat fatal.
اِيَاكَ = cahaya matahari-Mu
Iyaaka na’budu = kepada cahaya
matahari-Mu kami menyembah.
Wa iyaaka nasta’iin = dan kepada
cahaya matahari-Mu kami meminta pertolongan. .
[lihat “Mu’jam” Al-Manaahiy Al-Lafdziyyah” (91)]
إهدنا الصراط المستقيم
[6] Tunjukilah kami
jalan yang lurus,
Menfathahkan hamzah
washl pada kalimat (اِهْدِنَا) yang
menjadi (اَهْدِنَا) yang maknanya adalah berikanlah kami
hadiah. [lihat “Hasyiyah Ar-Roudh” (2/312) Mumti’ (3/80).
SALAH
إهدنا السرات المستكيم
Berikan kami
sertifikat segundikan seperti gundukan punuk onta.
Jangan mengganti
ص dengan س
ط dengan ت
ق dengan ك
ص dengan س
ط dengan ت
ق dengan ك
صراط الذين انعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالّين
[7] (yaitu) Jalan
orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
SALAH
سرات الذين انئمت اليهم كير المكدوب اليهم ولا الدالّين
yaitu sertifikat
org org yg kau beri seperti auman singa yg keras dan sertifikat seujung kuku
dan sertifikat yg ngeles.
Jangan menukar
ص dengan س
ع dengan ئ ؤ أ ء
غ dengan ك
ض dengan د
ص dengan س
ع dengan ئ ؤ أ ء
غ dengan ك
ض dengan د
KESIMPULAN DAN SARAN
Al-fatihah adalah salah satu-satunya
surat yang wajib dalam sah sholat, sekaligus himpunan keseluruhan dalam al-qur’an,
meninggalkan surat al-fatihah dalam sholat menjadi problematic fatal dalam
keabshahan sholat. Maka dari itu, harus menjadi perhatian khusus kita dalam belajar
al-qur’an terutama untuk generasi penerus perjuangan hidup kita menegakkan
kalimah Allah.
Apalagi jika terkait dengan sholat
berjama’ah, merupakan satu kesatuan bersama melaksanakan ibadah sholat, yang
mana berujung tombak pada seorang imam (pemimpin dalam sholat). Para imam
madzhab melarang untuk tidak bermakmum pada imam yang ummi bagi yang bacaan
berkualitas lebih baik. Adapun Hokum keabshahan bermakmum pada imam yang ummi terbagi
menjadi beberapa penjelasan, sebagai berikut :
- Shalat di belakang imam yang salah membaca al Fatihah dengan kesalahan itu sampai merubah makna, Menurut Maliki, Hanafi dan Hambali.
- Sedang Bagi Syafi’iyah, terjadi pergeseran pendapat hokum serta hal yang diperincikan selain antara Qoul Qadim dan Qoul Jadid, dengan penjelasan berikut :
Imam Syafi'i dalam qaul qadim: Apabila shalatnya sirriyyah
maka sah shalatnya qari' (makmum yang fasih fatihahnya) di belakang imam yang
ummi. Apabila shalat jahriyyah (maghrib, isya', shubuh) .. tidak sah. Karena,
bacaan Al-Fatih itu tidak wajib bagi makmum pada shalat jahriyyah karena ditanggung
oleh imam menurut qaul qadim sedangkan imam tersebut tidak mampu menanggungnya
maka tidak sah shalatnya makmum sebagaimana hakim apabila tidak pandai hukum maka
ia tidak sah keputusannya. Apabila shalat sirriyyah .. maka wajib bagi makmum
membaca Al-Fatihah sedangkan dia mampu membacanya maka boleh baginya bermakmum
pada imam yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan baik sebagaimana shalatnya
makmum yang mampu berdiri di
- Sedangkan jika kesalahan bacaan Al-fatihah tidak merubah Makna maka terjadi perselisihan hokum antara diperbolehkan (Mubah) menurut Maliki, Makruh menurut Syafi’I dan Hambali, serta terlarang (tidak sah, pen ) bagi pendapat Hanafi. Diantara perselisihan tersebut menghukumi makruh (larangan tapi tak berdampak pada keabshahan) terasa menjadi pilihan tepat.
demikian... jika terdapat kesalahan mohon untuk dikritik, saran dan diperbaiki dalam rangka membangun demikian terima kasih.
0 komentar:
Posting Komentar