Cari Blog Ini

My_ISRA Rahmatan Lil'alamin

Jumat, 08 April 2016

DI BALIK KEUTAMAAN BULAN RAJAB

DI BALIK KEUTAMAAN BULAN RAJAB

TERKAIT DENGAN PENJELASAN
  1. UNGKAPAN PARA ULAMA' AKAN HADIS PALSU
  2. KEUTAMAAN DAN KEMULIAAN BULAN RAJAB yang dapat digunakan sebagai HUJJAH.
  3. KESIMPULAN & HAL YANG DILARANG DAN DICEGAH;
UNGKAPAN PARA ULAMA' AKAN HADIS PALSU
Penulis Fiqh Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata, “Adapun puasa Rajab, maka ia tidak memiliki keutamaan dari bulan haram yang lain. Tidak ada hadits shahih yang menyebutkan keutamaan puasa Rajab secara khusus. Jika pun ada, maka hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil pendukung.” (Fiqh Sunnah, 1: 401).
Sebagaimana dinukil oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah (1: 401), Ibnu Hajar Al Asqolani berkata, “Tidak ada dalil yang menunjukkan keutamaan puasa di bulan Rajab atau menjelaskan puasa tertentu di bulan tersebut. Begitu pula tidak ada dalil yang menganjurkan shalat malam secara khusus pada bulan Rajab. Artinya, tidak ada dalil shahih yang bisa jadi pendukung.”
Ibnu Rajab Al Hambali berkata, ”Hadits yang membicarakan keutamaan puasa Rajab secara khusus tidaklah shahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, begitu pula dari sahabatnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 213).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam ‘Majmu’ Fatawa, 25/290: “Adapun  berpuasa di Bulan Rajab secara khusus, semua haditsnya adalah lemah, bahkan palsu. Sedikitpun tidak dijadikan landasan oleh para ulama. Dan juga bukan kategori hadits lemah yang dapat diriwayatkan dalam bab   amalan utama (fadha'ilul a'mal). Mayoritasnya adalah hadits-hadits palsu dan dusta. Terkait riwayat yang terdapat dalam Musnad dan (kitab hadits) lainnya dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, bahwa  beliau memerintahkan untuk berpuasa pada bulan-bulan Haram yaitu Rajab, Dzulqaidah, Dzulhijjah dan Muharram, yang dimaksud adalah anjuran berpuasa pada empat bulan semunya, bukan khusus Rajab.”


Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Semua hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya adalah kebohongan yang diada-adakan.” (Al-Manar Al-Munif, hal. 96)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Tabyinul Ujab fi Fadha’il Rajab hal 23.  hal. 11: “Tidak ada hadits shahih yang layak dijadikan hujjah tentang keutamaan bulan Rajab, tidak juga dalam puasanya atau puasa tertentu , begitu juga (tidak ada) qiyamullail tertentu di dalamnya."

Ditulis oleh al-Syaukani, dalam Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhammad bin Manshur al-Sam’ani yang mengatakan bahwa tak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat.
Imam asy-Syaukani menukil perkataan ‘Ali bin Ibrahim al-‘Aththaar, ia berkata dalam risalahnya: “Sesungguhnya riwayat tentang keutamaan puasa Rajab, semuanya adalah palsu dan lemah, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [Lihat al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaaditsil Maudhu’ah (hal. . 381)

Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab itu cukup menjadi hujjah atau landasan. Di samping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab shahih,

BERIKUT KEUTAMAAN DAN KEMULIAAN BULAN RAJAB yang dapat digunakan sebagai HUJJAH.

PERTAMA, Dari ALQUR'AN BERIKUT TAFSIR
As-Sya’di rahimahullah berkata (dalam tafsirnya) pada hal. 373: “Firman Allah;
 فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
" ........ Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (at-taubah; 36)
Ada kemungkinan dhamir (kata ganti pada ayat tersebut) kembali kepada dua belas bulan. Dengan demikian, Allah menjelaskan bahwa bulan-bulan tersebut telah ditetapkan ketentuannya  bagi para hamba-Nya, agar mereka meramaikannya dengan ketaatan (kepadaNya) seraya bersyukur kepada Allah atas karunia yang Dia berikan kepadanya serta mengarahkannya untuk kebaikan para hamba dan agar tidak  melakukan perbuatan aniaya terhadap diri sendiri di dalamnya
surat Al-Maidah:2, Allah swt.berfirman:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا لا تُحِلُّوا شَعائِرَ اللَّهِ وَ لاَ الشَّهْرَ الْحَرامَ 
 “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan lah melanggar kehormatan bulan-bulan haram”.
Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

KEDUA, dari HADIST

مَنْ صَامَ يَوْماً مِنْ رَجَبٍ عَدَلَ صِيَامَ شَهْرٍ.
“Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab (ganjarannya) sama dengan berpuasa satu bulan.”  HADITS INI  SANGAT LEMAH
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh dari Abu Dzarr secara marfu’.
Dalam sanad hadits ini ada perawi yang bernama al-Furaat bin as-Saa-ib, dia adalah seorang rawi yang matruk. [Lihat al-Fawaa-id al-Majmu’ah (no. 290)]

Ada dalil yang berisi anjuran berpuasa di bulan haram dan bulan Rajab adalah di antara bulan haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ
“Berpuasalah pada bulan haram dan tinggalkanlah Berpuasalah pada bulan haram dan tinggalkanlah Berpuasalah pada bulan haram dan tinggalkanlah.” (HR. Abu Daud no. 2428). Namun hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dho’if Abu Daud.
Beliau berkata sambil berisyarat dengan tiga jarinya, beliau satukan ketiganya kemudian beliau pisahkan.”

Ditegaskan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi lil Fataawi bahwa hadis-hadis tentang keutamaan dan kekhususan puasa Rajab tersebut terkategori dha’if (lemah atau kurang kuat).
Namun dalam ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana biasa diamalkan para ulama generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadis dha’if dalam konteks fada’il al-a’mal (amal- amal utama).

Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz al- ‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al- tadzkirah mengatakan:
“Adapun hadis dha’if yang tidak maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya, apabila hadis itu tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal dan lain- lain…..”.

Apalagi jika terdapat hadits yang dianggap shohih keberadaannya oleh sebagain ulama terkemuka seperti Keutamaan berpuasa pada bulan haram seperti pertama yang diriwayatkan dalam hadis sahih imam Muslim. Bahkan  berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan  Rajab).

Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.

kedua Hadits shahih tentang hal tersebut adalah; Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya: “Telah menceritakan pada kami Abubakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan pada kami Abdullah bin Numairih, telah menceritakan pada kami Ibnu Numair, telah menceritakan pada kami ayah kami, telah mencerita kan pada kami Utsman bin Hakim Al-Anshari berkata: ‘Aku bertanya pada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab dan kami saat itu sedang berada di bulan Rajab’, maka ia menjawab: Aku mendengar Ibnu Abbas berkata: ‘Adalah Nabi berpuasa (di bulan Rajab) sampai kami berkata nampaknya beliau akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya, lalu beliau tidak berpuasa sampai kami berkata: Nampaknya beliau tidak akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya’“. (Albani sendiri dalam Al-Irwa’ mengatakan: Hadits ini di-takhrij oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (VI/139) dan Ahmad (I/26). Saya (Albani) katakan: Bahkan hadits ini juga di-takhrij oleh Imam Abu Ya’la dalam Al-Musnad (VI/156, no. 2547); Al-Baihaqi dalam Al-Kubra’ (IV/906); dan dalam Syu’abul Iman (VIII/316, no. 3638).

KESIMPULAN & HAL YANG DILARANG DAN DICEGAH;
Jadi dapat disimpulkan, bahwa kesunnahan puasa bulan rajab tetap dalam koridor hukum yang sangat dianjurkan dalam al-qur'an maupun sunnah Rasulullah SAW. PERSELISIHAN HUKUM PUASA BULAN RAJAB hanya timbul karena banyaknya hadis-hadis maudhu' (palsu) yang beredar di beberapa masyarakat dan kitab-kitab. namun hal ini tak berpengaruh pada kesunnahan puasa bulan rajab yang dianjurkan secara umum dimana termasuk bulan-bulan haram nan mulia.
hal yang dapat dianggap sangat baik dan afdhol, yaitu saat dimana kita mengamalkan puasa atau sholat yang sudah benar-benar tertera jelas kesunnahannnya seperti puasa senin kamis, daud, baidh, sholat tahajjud, tasbih dan hajat serta dhuha... kita laksanakan dan tingkatkan pada bulan-bulan yang dimuliakan Allah (HARAM).

HAL YANG BENAR-BENAR DILARANG NAN DICEGAH adalah pengkhususan-pengkhususannya itu sendiri seperti niat puasa tanggal 27 rajab sebaiknya tetap diniati "PUASA BULAN HARAM RAJAB" selain itu seperti pengkhususan niat sholat bulan rajab "ragahaaib"
namun sebaiknya tetap niat sholat mutlak atau sholat-sholat sunnah yang sudah sangat dianjurkan dalam assunnah.
hal ini untuk mengantisipasi perkataan dari Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Puasa pada hari ke-27 dari bulan Rajab dan qiyamul lail (shalat malam) pada malam tersebut serta menjadikannya sebagai suatu kekhususan pada hari itu, hal ini berarti bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 20: 440)..

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِيْ النَّارِ.

“Tiap-tiap bid’ah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan di Neraka.” [HSR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Sunan an-Nasa-i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51)
sedang yang mengamalkan amalan dan penyebaran hadist-hadist maudhu' sudah sepatutnya kita hindari agar tak termasuk dari hadits berikut :
Rasulullah bersabda: 

      من كذب علي متعمدا, فليتبواء مقعده من النار

Artinya: Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia siapkan tempat duduknya dari api neraka”

0 komentar: