Cari Blog Ini

My_ISRA Rahmatan Lil'alamin

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 29 April 2016

MACAM ISTIGFAR

MACAM-MACAM ISTIGFAR

Sayyidul Istighfar
اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
Allaahumma anta rabbi laa ilaaha illa anta kholaqtanii wa anaa 'abduka wa anaa 'alaa 'ahdika wa wa'dika mastatho'tu a'uudzu bika min syarri maa shona'tu abuu`u laka bini'matika 'alayya wa abuu`u bidzanbii faghfirlii fa innahu laa yaghfirudz-dzunuuba illa anta.

حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى سَيِّدِ الِاسْتِغْفَارِ اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ وَأَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَعْتَرِفُ بِذُنُوبِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ لَا يَقُولُهَا أَحَدُكُمْ حِينَ يُمْسِي فَيَأْتِي عَلَيْهِ قَدَرٌ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ وَلَا يَقُولُهَا حِينَ يُصْبِحُ فَيَأْتِي عَلَيْهِ قَدَرٌ قَبْلَ أَنْ يُمْسِيَ إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَابْنِ أَبْزَى وَبُرَيْدَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ وَعَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ هُوَ ابْنُ أَبِي حَازِمٍ الزَّاهِدُ
Telah menceritakan kepada kami Al Husain bin Huraits telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abu Hazim dari Katsir bin Zaid dari Utsman bin Rabi'ah dari Syaddad bin Aus radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepadanya: "Maukah aku tunjukkan kepadamu sayyid istighfar? Yaitu ALLAAHUMMA ANTA RABBII LAA ILAAHA ILLAA ANTA KHALAQTANII WA ANAA 'ABDUKA WA ANAA 'ALAA 'AHDIKA WA WA'DIKA MASTATHA'TU, A'UUDZU BIKA MIN SYARRI MAA SHANA'TU WA ABUU-U LAKA BINI'MATIKA 'ALAYYA WA A'TARIFU BIDZUNUUBII FAGHFIR LII DZUNUUBII, INNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA. (Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engaku, Engkau telah menciptakanku, dan aku adalah hambaMu, dan berada dalam perjanjian dan janjiMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan apa yang telah aku perbuat, dan aku mengakui kenikmatanMu yang Engkau berikan kepadaku dan mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah dosaku, sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau). Tidak ada seorangpun diantara kalian yang mengucapkannya ketika sore hari kemudian datang kepadanya taqdir untuk meninggal sebelum datang pagi hari melainkan wajib baginya Surga, dan tidaklah ia mengucapkannya ketika pagi hari kemudian datang kepadanya taqdir untuk meninggal sebelum datang sore hari melainkan wajib baginya Surga." Dalam bab tersebut ada yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abza serta Buraidah radliallahu 'anhum. Abu Isa berkata; hadits ini adalah hadits hasan gharib dari sisi ini dan hadits ini telah diriwayatkan dari selain sisi ini dari Syaddad bin Aus, sedangkan Abdul Aziz bin Abu Hazim adalah Ibnu Abu Hazim Az Zahid. (HR. At-Tirmidzi No.3315, Bukhori No.5832, 5848, An Nasa’I No.5427 dan Abudaud No.4408)
"Allahumma anta robbii laa ilaaha illaa anta, kholaqtanii wa anaa ‘abduka wa anaa ‘alaa ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu. A’udzu bika min syarri maa shona’tu, abuu-u laka bini’matika ‘alayya, wa abuu-u bi dzanbii, faghfirlii fainnahuu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta"

”Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau,Engkau yang menciptakanku, sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji -Mu dan akan menjalankannya dengan semampuku, aku berlindung kepadamu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat, aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku, sesungguhnya tiada yang mengampuni segala dosa kecuali Engkau” (HR. Bukhari no. 6306)

Lalu apa saja fadilah atau keutamaan membaca sayyidul istighfar di atas ?
مَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا ، فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِىَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهْوَ مُوقِنٌ بِهَا ، فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
 “Barangsiapa mengucapkannya pada siang hari dan meyakininya, lalu dia mati pada hari itu sebelum waktu sore, maka dia termasuk penghuni surga. Dan barangsiapa mengucapkannya pada malam hari dalam keadaan meyakininya, lalu dia mati sebelum waktu pagi, maka dia termasuk penghuni surga.”


2.      
أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ
Astaghfirullaahal 'adziima alladzii laa ilaaha illa huwal hayyul qayyuum wa atuubu ilaihi.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ الشَّنِّيُّ حَدَّثَنِي أَبِي عُمَرُ بْنُ مُرَّةَ قَال سَمِعْتُ بِلَالَ بْنَ يَسَارِ بْنِ زَيْدٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ غُفِرَ لَهُ وَإِنْ كَانَ فَرَّ مِنْ الزَّحْفِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar Asy Syanni telah menceritakan kepadaku bapakku Umar bin Murrah dia berkata; saya mendengar Bilal bin Yasar bin Zaid bekas budak (yang telah dimerdekakan oleh) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah menceritakan kepadaku ayahku dari kakekku, dia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengucapkan; ASTAGHFIRULLAAHAL 'ADZIIM ALLADZII LAA ILAAHA ILLA HUWAL HAYYUL QAYYUUM WA ATUUBU ILAIH (Aku memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung, dzat yang tiada Ilah melainkan Dia, yang Maha hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya) serta aku bertaubat kepada-Nya) Maka (dosa-dosanya) akan di ampuni sekalipun ia telah lari dari peperangan." Abu 'Isa berkata; "Hadits ini derajatnya gharib, dan kami tidak mengetahuinya melainkan dari jalur ini." (HR. At Tirmidzi No.3501)

حَدَّثَنَا صَالِحُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْوَصَّافِيِّ عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ حِينَ يَأْوِي إِلَى فِرَاشِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ذُنُوبَهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ وَإِنْ كَانَتْ عَدَدَ وَرَقِ الشَّجَرِ وَإِنْ كَانَتْ عَدَدَ رَمْلِ عَالِجٍ وَإِنْ كَانَتْ عَدَدَ أَيَّامِ الدُّنْيَا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ الْوَصَّافِيِّ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ

Telah menceritakan kepada kami Shalih bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Al Washshafi dari 'Athiyyah dari Abu Sa'id radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barang siapa ketika (sebelum tidur)
menuju tempat tidurnya mengucapkan; ASTAGHFIRULLAAHAL 'AZHIIM ALLADZII LAA ILAAHA ILLAA HUWAL HAYYUL QAYYUUM WA ATUUBU ILAIH (Aku memohon ampunan kepada Allah yang Maha Agung, Yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, yang selalu hidup dan senantiasa mengurus makhukNya. Aku bertaubat kepadaNya) sebanyak tiga kali maka Allah mengampuni dosa-dosanya walaupun seperti buih lautan, walaupun sebanyak daun pohon, walaupun sebanyak kerikil, walaupun sebanyak hari-hari di dunia." Abu Isa berkata; hadits ini adalah hadits hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini dari hadits Al Washshafi 'Ubaidullab bin Al Walid. (HR. Ahmad No.3319)


   3.      
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Rabbighfirlii watub 'alayya, innaka antat tawwaabur rahiim.
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ وَالْمُحَارِبِيُّ عَنْ مَالِكِ بْنِ مِغْوَلٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُوقَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ يَقُولُ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ مِائَةَ مَرَّةٍ

Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dan Al Muharibi dari Malik bin Mighwal dari Muhammad bin Suqah dari Nafi' dari Ibnu Umar dia berkata; "Apabila kami menghitung ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam suatu majlis: "Rabbighfirlii watub 'alayya innaka antat tawwabur rahiim (Ya Rabbku ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkaulah Maha penerima taubat dan maha penyayang" beliau mengucapkannya sebanyak seratus kali." (HR. Ibnumajah No.3804 dan Abudaud No.1295)

4.     
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ

Rabbighfirlii watub 'alayya innaka antat tawwaabul ghafuur.

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا الْمُحَارِبِيُّ عَنْ مَالِكِ بْنِ مِغْوَلٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُوقَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ يُعَدُّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةُ مَرَّةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَقُومَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سُوقَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ بِمَعْنَاهُ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Abdurrahman Al Kufi, telah menceritakan kepada kami Al Muharibi dari Malik bin Mighwal dari Muhammad bin Suqah dari Nafi' dari Ibnu Umar, ia berkata; Dalam satu majlis Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam, sebelum beliau berdiri (meninggalkan majlis), terhitung seratus kali beliau mengucapkan: "RABBIGHFIRLII WA TUB 'ALAYYA INNAKA ANTAT TAWWAABUL GHAFUUR" (Wahai Tuhanku, ampunilah dosaku, dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi taubat dan Maha Pengampu). Abu Isa berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Muhammad bin Suqah dengan sanad ini seperti itu dengan maknanya. Hadits ini adalah hadits hasan shahih gharib. (HR. At Tirmidzi No.3356 dan Ahmad No.4496)

5.    
سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ

Subhaanallaahi wabihamdihi astaghfirullaah wa atuubu ilaihi.

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنِي عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا دَاوُدُ عَنْ عَامِرٍ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَاكَ تُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فَقَالَ خَبَّرَنِي رَبِّي أَنِّي سَأَرَى عَلَامَةً فِي أُمَّتِي فَإِذَا رَأَيْتُهَا أَكْثَرْتُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فَقَدْ رَأَيْتُهَا { إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ } فَتْحُ مَكَّةَ { وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا }

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepadaku Abdul A'la telah menceritakan kepada kami Dawud dari Amir dari Masruq dari Aisyah ra dia berkata, "Dahulu Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam memperbanyak pertakataan, 'SUBHAANALLAAHI WABIHAMDIHI ASTAGHFIRULLAAH WA ATUUBU ILAIHI (Mahasuci Allah dan dengan memujiNya, saya memohon ampunan kepada Allah dan saya bertaubat kepadaNya)'." Aisyah berkata, "Lalu aku berkata, 'Wahai Rasulullah, saya melihatmu memperbanyak perkataan, 'Mahasuci Allah dan dengan memujiNya, aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepadaNya'. Maka beliau menjawab, 'Rabbku telah mengabarkan kepadaku bahwa aku akan melihat suatu tanda pada umatku, ketika aku melihatnya maka aku memperbanyak membaca, 'Mahasuci Allah dan dengan memujiNya, aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya', maka sungguh aku telah melihatnya, yaitu (ketika pertolongan Allah datang dan pembukaanNya) yaitu pembukaan (fath) Makkah, dan dan kamu telah melihat manusia masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong, lalu bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan memohon ampunlah, sesungguhnya Dia Maha Pemberi taubat'." (HR. Muslim No.749 dan Ahmad No.22936)

6.    
أستغفر اللهَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ والْمُؤْمِنَاتِ 
Astaghfirullaaha lilmu’miniina wal-mu’minaat. 27x.
Artinya : Saya memohon ampun kepada Allah untuk orang-orang mukmin dan mukminat.
من استغفر للمؤمنين والمؤمنات كل يوم سبعا وعشرين مرة كان من الذين يستجاب لهم ويرزق بهم أهل الأرض

Abu Darda ra., Nabi Muhammad saww. bersabda : Manistaghfara lil-mu'miniina wal-mu'minaati kulla yaumin sab'an wa 'isyriina marrotan kaana minalladziina yustajaabu lahum wa yurzaqu bihim ahlul-ardhi.
Artinya : Barangsiapa membacakan istighfar untuk mukminin dan mukminat sebanyak 27 kali di setiap hari, maka ia termasuk golongan mereka yg terkabul do'anya dan mereka yg menjadi jaminan rizki Allah bagi para penghuni bumi.". (HR.Ath Thabarani, Didalam Kitab Nashoihul Ibad)

من استغفر للمؤمنين والمؤمنات كتب الله له بكل مؤمن ومؤمنة حسنة

Ubadah bin Shamit ra., Nabi Muhammad saww. bersabda : Manistaghfara lil mu'miniyna wal mu'minaati, kataballaahu lahu bikulli mu'minin wa mu'minatin hasanah.
Artinya : Siapa yang memohon ampunan untuk orang-orang beriman laki-laki dan perempuan, niscaya Allah menulis untuknya dari setiap orang beriman laki-laki dan perempuan satu kebaikan (pahala). (HR. Ath Thabarani, Di dalam Kitab Nashoihul Ibad)

7.     اللهم انا نستغفرك ونتوب اليك من كل ذنب علمناه او لم نعلمه فى ليل او نهار

Allaahumma innaa nastghfiruka wa natuubu ilaika min kulli dzanbin ‘alimnaahu au lam na’lamhu fii lailin au nahaar(in).
Artinya : Ya Allah sesungguhnya kami memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu dari segala dosa yang kami mengetahuinya dan yang tidak kami ketahui diwaktu malam dan siang.

Barangsiapa istiqomah membaca istighfar tersebut diatas sehabis shalat subuh, niscaya Allah membukakan pintu rizki kepadanya dan menutup dari padanya satu pintu dari pintu-pintu kefakiran. (Kitab Tanqihul Qaul)

8. Istighfar kabir (Al Imam As Sayyid Ahmad bin Idris Rahimahullah “Tarekat Idrisiyyah”)

أستغفر الله العظيم, الذي لا إله إلا هو الحي القيوم, غفار الذنوب ذا الجلال و الإكرام , و أتوب إليه من جميع المعاصي كلها و الذنوب و الآثام, و من كل ذنب أذنبته عمداً و خطأ, ظاهراً و باطناً , قولاً و فعلاً , في جميع حركاتي و سكناتي و خطراتي و أنفاسي كلها, دائماً أبداً سرمداً , من الذنب الذي أعلم ومن الذنب الذي لا أعلم , عدد ما أحاط به العلم و أحصاه الكتاب, و خطه القلم , وعدد ما أوجدته القدرة و خصصته الإرادة , و مداد كلمات الله, و كما ينبغي لجلال وجه ربنا و جماله و كماله, و كما يحب ربنا و يرضى

Astaghfirullaahal ‘azhiima, al ladzii laa ilaha illa huwal hayyul qayyuuma, ghoffaarodz dzunuubi dzal jalaali wal ikraami, wa atuubu ilaihi min jamii’il ma’aashii kullihaa wa wadz dzunuubi wal aatsaami, wa min kulli dzanbin adznabtuhu amdan wa khotho-an, zhoohiron wa baathinan, qaulan wa fi’lan, fii jamii’i harokaatii wa sakanaatii wa khothorootii wa anfaasii kullihaa, daa-iman abadan sarmadan, minadz dzanbil ladzii a’lamu, wa minadz dznbil ladzii laa a’lamu, ‘adada maa ahaatho bihil ‘ilmu wa ahshoohul kitaabu, wa khoththohul qolamu, wa ‘adada maa au jadathul qudrotu, wa khoshshoshotl iroodatu, wa midaada kalimaatillaahi, kamaa yanbaghii lijalaali wajhi robbinaa wa jamaalihi wa kamaalihi, wa kamaa yuhibbu robbuna wa yardoo.
Artinya : Aku memohon keampunan kepada Allah Yang Maha Besar; Yang tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia; Tuhan Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri dengan sendirinya; Maha Pengampun segala dosa; Yang Memiliki keagungan dan kemulian. Aku bertaubat kepadaNya dari segala perbuatan maksiat, dosa dan kesalahan yang telah aku lakukan sama ada dengan sengaja atau pun tidak, yang zahir mahupun yang batin, pada perkataan mahupun perbuatan, dalam setiap pergerakan dan diamku, yang terlintas di benak hatiku ataupun yang wujud di dalam hembusan nafasku; semuanya untuk selama-lamanya. Tidak kira sama ada dosa-dosa yang aku ketahui atau tidak aku ketahui, sebanyak mana yang dicakupi (diketahui) oleh Ilmu Allah; yang dihitung oleh buku amalan dan yang dicatat oleh pena. Sebanyak mana yang diwujudkan oleh Kekuasaan Allah, yang dituntut oleh kehendakNya dan sebanyak tinta kalimah-kalimah Allah sepertimana yang selayaknya bagi kebesaran Zat Tuhan kami, keelokanNya, kesempurnaanNya dan seperti mana yang dikasihi oleh Tuhan kami dan yang diredhai-Nya.”

9.  Istighfar Bisyr bin Harits Al-Hafi Rahimahullah.

استغفر الله من كل سبب تبت منه تم عدت اليه واساله التوبة و استغفر الله من كل عقد عقدته على نفسي ففسخته ولم اف به

Astaghfirullaaha min kulli sababin tubtu minhu tsumma 'udtu ilayhi wa as-aluhut-tawbata, wa astaghfirullaaha minkulli 'aqdin 'aqadtuhu 'alaa nafsii fafasakhtuhu wa lam afi bihi.
Artinya: aku memohon kepada Allah dari setiap kesalahan yang aku telah bertaubat darinya kemudian aku kembali berbuat kesalahan dan aku memohon ampun kepada Allah dari setiap janji yang telah aku tetapkan atas diriku kemudian aku melanggarnya dan tidak dapat memenuhinya .
Doa/istighfar di atas diajarkan oleh Nabi Khidhir kepada Bisyr bin Harits Al-Hafi, seorang sufi besar. Bisyr Al-Hafi berkata, “Aku memiliki sebuah kamar. Aku menguncinya bila keluar. Suatu hari aku pulang, lalu membuka pintu kamar itu, kemudian masuk ke dalamnya. Ternyata ada seorang laki-laki yang sedang berdiri melaksanakan shalat. Orang itu membuatku takut. Lalu ia berkata, “Wahai Bisyr, jangan takut. Aku adalah saudaramu, Abul-Abbas Khidhir.’ Bisyr lalu berkata, ‘Ajarkanlah sesuatu kepadaku.’ Nabi Khidir mengatakan, ‘Bacalah ini (doa/istighfar di atas)’.”

Doa/istighfar tersebut dibaca sebanyak-banyaknya, minimal 3x sehabis shalat lima waktu, agar tetap mudah dimasa susah.

10.  Istighfar Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah.

اللهم يارب كل شيء بقدرتك على كل شيء اغفرلى كل شيء ولا تسألنى عن كل شيء ولا تحاسبنى في كل شيء واطنى كل شيء

Allaahumma Yaa Robba Kulli Syai’(in), Biqudrotika ‘Alaa Kulli Syai’(in), Ighfirlii Kulla Syai’(in), Wa Laa Tas-Alnii ‘An Kulli Syai’(in), Wa Laa Tuhaasibnii Fii Kulli Syai’(in), Wa Athinii Kulla Syai’(in).
Artinya : Ya Allah Ya Tuhan segala sesuatu, dengan kekuasaan-Mu atas segala sesuatu, ampunilah segala sesuatu dosa saya, janganlah kiranya Engkau menanyakan tentang segala sesuatu, jangnlah Engkau menghisab saya dalam segala sesuatu, dan berilah saya anugrah segala sesuatu.

وبلغنا أن الإمام أحمد بن حنبل رحمه الله رُئِي بعد موته في المنام فذكر: أن الله نفعه كثيراً بكلمات سمعها من سفيان الثوري رحمه الله، وهي هذه

Artinya : Ada sebuah berita yang sampai kepada kami, bahwa seorang shaleh telah bermimpi berjumpa dengan Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah. sesudah wafatnya, maka beliau telah berkata kepada orang shaleh itu, bahwa Allah swt. Telah memberikannya manfaat yang banyak dari beberapa kalimat (dzikir/doa) yang didengarnya dari Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah, yaitu (doa yang diatas). (Kitab An Nashaaih Ad Diniyah dan Kitab Nashoihul Ibad)

11.  Istighfar Al Imam Ahmad Ar Rifa’i.

استغفر الله العظيم الذي لا اله إلا هو الحي القيوم واتوب إليه من كل ذنب اذنبته عمدا او خطأ سرا او علانية من الذنب الذي اعلم او لا اعلم انه هو يعلم و انا لا اعلم و هو علام اغيوب و غفار الذنوب و ستار العيوب و كشاف الكروب و لا حول و لا قوة إلا بالله العلي العظيم

Astaghfirullaahal ‘azhiimal ladzii laa ilaha illa huwal hayyal qayyuuma wa atuubu ilaihi min kulli dzanbin adznabtuhu ‘amdan au khatha-an sirran au ‘alaaniyatan minadz dzanbil ladzii a’lamu au laa a’lamu innahu huwa ya’lamu wa anaa laa a’lamu wa huwa ‘allaamul ghuyuubi wa ghaffaarudz dzunuubi wa sattaarul ‘uyubi wa kasysyaaful kurubi wa laa hawla walaa quwwata illa billaahil-`aliyyil­`azhiam.

Aku memohon ampun kepada Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia, yang Maha hidup lagi senantiasa mengurus hamba­Nya; dan aku bertaubat kepada-Nya dari segala dosa yang aku perbuat, sengaja maupun tidak sengaja, rahasia (tidak diketahui orang) atau terang-terangan, yang aku ketahui atau yang aku tidak ketahui. Sesungguhnya Dia mengetahui dan aku tidak mengetahui, dan dia Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib, Maha Menghapuskan dosa­ dosa, Maha Menutupi aib, dan Maha Menghilangkan kesusahan. Dan tidak ada daya dan upaya melainkan dengan izin Allah, Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung."

12.  Istighfar Al Habib Hasan bin Sholeh Al Bahr.

يا غفار اغفرلي يا تواب تب علي يا رحمن ارحمني يا رءوف ارافني يا عفو اعف عني

Yaa Ghoffaaru ighfirlii, Yaa Tawwaabu tub ‘alayya, Yaa Rohmaanu irhamnii, Yaa Ro’uufu ir-afnii, Yaa ‘Afuwwu u’fu annii.
Wahai Yang Maha Pengampun, ampunilah aku, Wahai Yang Maha Menerima tobat, terimalah tobatku, Wahai Yang Maha Pengasih, kasihanilah aku, Wahai Yang Maha Penyayang, sayangilah aku, Wahai Yang Maha Pemaaf, maafkanlah aku.

13. استغفر الله الذي لا اله الا هو الرحمن الرحيم الحي القيوم الذي لا يموت واتوب اليه رب اغفلي

Astaghfirullaah al-ladzii laa ilaha illa huwar rahmaanur rahiimul hayyul qayyuumul ladzii laa yamuutu wa atuubu ilaihi robbighfirlii. 25x.
Artinya : Aku memohon ampun kepada Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Hidup, Maha Berdiri Sendiri, yang tidak akan mati dan aku bertobat kepada-Nya. Tuhan ampunilah aku.
Barangsiapa mengucapkan do’a/istighfar diatas pada waktu sesudah shalat subuh dan ashar sebanyak 25x maka insya Allah ia tidak akan melihat sesuatu yang tidak ia sukai terjadi didalam rumahnya, terhadap keluarganya, penghuni rumahnya, warga kotanya atau penduduk negaranya. (Al-Imam Al-Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahar)

14. Istighfar Al Habib Ahmad bin Muhammad Al Muhdhor Rohimahullah (Yaman).

استغفر الله العظيم حياء من الله
استغفر الله رجوعا الى الله
استغفر الله فرارا من غضب الله الى رضاء الله
استغفر الله فرارا من سخط الله الى عفو الله
استغفر الله تندما واسترجاعا
استغفر الله تلآفي قبل تلآفي
استغفر الله من الإفراط والتفريط
استغفر الله من التخبيط والتليط
استغفر الله من مفارقة الذنوب
استغفر الله من التدنس بالعيوب
استغفر الله من عدم الحضور فى الصلاة
استغفر الله من جميع التقصير فيها و فى الزكاة
استغفر الله من القنوط من رحمة الله
استغفر الله من الأمن من مكر الله
استغفر الله من عدم القيام بحق الله وخلق الله
استغفر الله من عدم التشمير لطاعة الله
استغفر الله من عقوق الأباء والأمهات
استغفر الله من الظلمات والتبعات
استغفر الله من الخطا الى الخطيئات
استغفر الله من قطيعة الأرحام
استغفر الله من اكتساب الآثام
استغفر الله من حب الجاه والمال
استغفر الله من شهوة القيل والقال
استغفر الله من رؤية النفس بعين التعظيم
استغفر الله من نهر السائل وقهر اليتيم
استغفر الله من الكذب والحسد
استغفر الله من الغيبة والنميمة
استغفر الله من الرياء والسمعة
استغفر الله من سائر الأخلآق المذمومة
استغفر الله من سائر الذنوب القلبية والقوالبية واللسانية والذوقية والسمعية والبصرية والبدنية والفرجية والصدرية واليدوية والرجلية والحسية والمعنوية
استغفر الله العظيم من اتباع الهوى وهجر التقوى والميل إلى زخارف الدنيا
استغفر الله من جميع ما يكره الله ظاهرا وباطنا
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
Astaghfirullaahal ‘azhiima hayaa-an minallaah.
Astaghfirullaah rujuu’an ilallaah.
Astaghfirullaah firoron min ghodhobillaahi ilaa ridhoo-illaah.
Astaghfirullaah firoron min sakhothillaahi ilaa ‘afwillaah.
Astaghfirullaah tanadduman wastirjaa’an.
Astaghfirullaah talaafii qobla talaafii.
Astaghfirullaah minal ifrothi wat-tafrithi.
Astaghfirullaah minat-takhbithi wat-takhlithi.
Astaghfirullaah min mufaaroqotidz-dzunuubi.
Astaghfirullaah minat-tadannusi bil ‘uyuubi.
Astaghfirullaah min ‘adamil hudhuuri fish-sholaati.
Astaghfirullaah min jamii’it-taqshiiri fiihaa wafiz-zakaati.
Astaghfirullaah minal qunuuthi min rohmatillaah.
Astaghfirullaah minal amni min makrillaah.
Astaghfirullaah min ‘adamil qiyaami bi haqqillaah wa kholqillaah.
Astaghfirullaah min ‘adamit-tasymiiri li thoo’atillaah.
Astaghfirullaah min ‘uquuqil abaa-i wal ummahaat.
Astaghfirullaah minazh-zhulumaati wat-tabi’aati.
Astaghfirullaah minal khothoo ilal khothii-ati.
Astaghfirullaah min qothii’atil arhaami.
Astaghfirullaah min iktisaabil aatsaami.
Astaghfirullaah min hubbil jaahi wal maali.
Astaghfirullaah min syahwatil qiili wal qooli.
Astaghfirullaah min ru’yatin nafsi bi ‘ainit-ta’zhiimi.
Astaghfirullaah min nahris saa-ili wa qohril yatiimi.
Astaghfirullaah minal kidzbi wal hasadi.
Astaghfirullaah minal ghiibati wan-namiimah.
Astaghfirullaah minar riyaa-i was-sum’ah.
Astaghfirullaah min saa-iril akhlaaqil madzmumah.
Astaghfirullaah min sa-iridz dzunuubil qolbiyyati wal qowaalibiyyati wal lisaaniyyati wadz-dzauqiyyati was sam’iyyati wal bashoriyyati wal badaniyyati wal farjiyyati wash shodriyyati wal yadawiyyati war-rijliyyati wal hissiyyati wal ma’nawiyyah.
Astaghfirullaahal ‘azhiima min ittibaa’il hawaa wa hajrit taqwaa wal maili ilaa zakhoorifid dun-ya.
Astaghfirullaah min jamii’i maa yakrohullohu zhoohiron wa baathinan.
Wa shollallaahu ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wa sallam.

Aku memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung, karena malu kepada Allah.
Aku memohon ampun kepada Allah agar kembali kepada Allah.
Aku memohon ampun kepada Allah seraya berlari dari murka Allah kepada ridha-Nya.
Aku memohon ampun kepada Allah seraya berlari dari kebencian Allah kepada ampunan-Nya.
Aku memohon ampun kepada Allah dengan sepenuh penyesalan dan penyerahan.
Aku memohon ampun kepada Allah dari melampaui batas dan berlebih-lebihan.
Aku memohon ampun kepada Allah dari kerasnya keinginan yang bercampur dari keinginan-keinginan yang tidak baik.
Aku memohon ampun kepada Allah dari perasaan tidak berdosa.
Aku memohon ampun kepada Allah dari kotoran-kotoran yang disebabkan oleh cela.
Aku memohon ampun kepada Allah dari tidak hadirnya hati ketika shalat.
Aku memohon ampun kepada Allah dari semua kelalaian dalam shalat dan zakat.
Aku memohon ampun kepada Allah dari mengingkari rahmat Allah.
Aku memohon ampun kepada Allah karena merasa aman dari ancaman siksa Allah.
Aku memohon ampun kepada Allah karena tidak memenuhi hak-hak Allah dan makhluk-Nya.
Aku memohon ampun kepada Allah karena tidak bersemangat dalam taat kepada-Nya.
Aku memohon ampun kepada Allah dari durhaka kepada kedua orangtua.
Aku memohon ampun kepada Allah dari perbuatan zalim dan amarah.
Aku memohon ampun kepada Allah dari berbuat salah yang terulang-ulang.
Aku memohon ampun kepada Allah dari memutus silaturrahmi.
Aku memohon ampun kepada Allah dari usaha yang mengandung dosa.
Aku memohon ampun kepada Allah dari kecintaan kepada pangkat dan harta.
Aku memohon ampun kepada Allah dari keinginan yang tidak bermanfaat.
Aku memohon ampun kepada Allah karena melihat diri sendiri dengan penuh rasa pengagungan.
Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa menolak peminta-minta dan menghardik anak yatim.
Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa suka berbohong dan iri hati.
Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa suka menceritakan aib orang lain dan mengadu domba.
Aku memohon ampun kepada Allah dari sifat riya, sum’ah, ingin dipuji.
Aku memohon ampun kepada Allah dari semua akhlak tercela.
Aku memohon ampun kepada Allah dari semua dosa yang disebabkan karena penyakit hati, lidah, perasaan, pendengaran, penglihatan, badan, kemaluan, tangan, kaki, yang terlihat maupun tidak.
Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung dari mengikuti hawa nafsu.
Aku memohon ampun kepada Allah dari segala macam hal yang dibenci Allah yang terlihat maupun tidak terlihat.
Limpahkanlah shalawat serta salam kepada penghulu kami Nabi Muhammad saww. dan atas keluarganya dan sahabatnya.

15.   
اللهم اغفر لنا و لوالدين و لاولادنا و لمشايخنا فى الدين ولمعلمينا و لاخواننا و لاصحابن و احبابنا و لمن احبنا فيك و لمن احسن الين و المتصدقين و لمن دخل بيوتنا مؤمنا و لجميع المسلمين و المسلمات و المؤمنين و الؤمنات

Allaahummaghfirlanaa waliwaalidiinaa, wali-awladiinaa, walimasyaayikhinaa fid diin, walimu'allimiinaa, wali-ikhwaaninaa, wali-ashhaabinaa, wa ahbaabinaa, waliman ahabbanaa fiika, waliman ahsana ilainaa, wal-mutashaddiqiina, waliman dakhola buyuutinaa muminan, walijamii'il muslimiina wal muslimaat wal mu'miniinan wal mu'minaat.

Ya Allah, ampunilah kami, kedua orang tua kami, anak-anak kami, guru-guru kami dalam agama, pengajar kami, saudara-saudara kami, teman-teman kami, yang mencintai kami, serta orang-orang yang mencintai kami karena Engkau, orang-orang yang berbuat baik kepada kami, orang-orang yang bersedekah, orang-orang yang masuk kerumah-rumah kami dengan membawa iman, serta seluruh kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat.

Dampak Sebuah Dosa


Dampak Akibat Dari Sebuah Dosa
Al-Imam Al-’Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullahu menyebutkan secara panjang lebar dampak negatif dari dosa. 15 di antaranya bisa kita sebutkan di sini sebagai peringatan:
  • (1). Terhalang dari ilmu yang haq (benar / lurus). Karena ilmu merupakan cahaya yang dilemparkan ke dalam hati, sementara      maksiat akan memadamkan cahaya.
Tatkala Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullahu belajar kepada Al-Imam Malik Rahimahullahu, Al-Imam Malik terkagum-kagum dengan kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Asy-Syafi’i.
 Al-Imam Malik pun berpesan pada muridnya ini,
 “Aku memandang Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memasukkan cahaya ilmu di hatimu. Maka janganlah engkau padamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”
  • (2). Terhalang dari beroleh rezeki dan urusannya dipersulit.
Takwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mendatangkan rezeki dan memudahkan urusan seorang hamba
 Sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala (artinya);
 “Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar (dari permasalahannya) dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.”
 (QS. Ath-Thalaaq [65]  : 2-3).
 “Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”
 (QS. Ath-Thalaq [65] : 4).
 Meninggalkan takwa berarti akan mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba terbelit urusannya.
 (3). Hati terasa jauh dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan merasa asing dengan-Nya, sebagaimana jauhnya pelaku maksiat dari orang-orang baik dan dekatnya dia dengan setan.
 (4). Menggelapkan hati si hamba sebagaimana gelapnya malam. Karena ketaatan adalah cahaya, sedangkan maksiat adalah kegelapan. Bila kegelapan itu bertambah di dalam hati, akan bertambah pula kebingungan si hamba. Hingga ia jatuh ke dalam bid’ah, kesesatan, dan perkara yang membinasakan tanpa ia sadari. Sebagaimana orang buta yang keluar sendirian di malam yang gelap dengan berjalan kaki.
 Bila kegelapan itu semakin pekat akan tampaklah tandanya di mata si hamba. Terus demikian, hingga tampak di wajahnya yang menghitam yang terlihat oleh semua orang.
  • (5). Maksiat akan melemahkan hati dan tubuh, karena kekuatan seorang mukmin itu bersumber dari hatinya. Semakin kuat hatinya semakin kuat tubuhnya. Adapun orang fajir/pendosa, sekalipun badannya tampak kuat, namun sebenarnya ia selemah-lemah manusia.
  • (6). Maksiat akan ‘memperpendek‘ umur dan menghilangkan keberkahannya, sementara perbuatan baik akan menambah umur dan keberkahannya.
 Mengapa demikian?
 Karena kehidupan yang hakiki dari seorang hamba diperoleh bila hatinya hidup. Sementara, orang yang hatinya mati walaupun masih berjalan di muka bumi, hakikatnya ia telah mati.
 Oleh karenanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan orang kafir adalah mayat dalam keadaan mereka masih berkeliaran di muka bumi:
 “Mereka itu adalah orang-orang mati yang tidak hidup.”
 (QS. An-Nahl [16] : 21).
 Dengan demikian, kehidupan yang hakiki adalah kehidupan hati. Sedangkan umur manusia adalah hitungan kehidupannya. Berarti, umurnya tidak lain adalah waktu-waktu kehidupannya yang dijalani karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, menghadap kepada-Nya, mencintai-Nya, mengingat-Nya, dan mencari keridhaan-Nya. Di luar itu, tidaklah terhitung sebagai umurnya.
 Bila seorang hamba berpaling dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menyibukkan diri dengan maksiat, berarti hilanglah hari-hari kehidupannya yang hakiki. Di mana suatu hari nanti akan jadi penyesalan baginya:
 “Aduhai kiranya dahulu aku mengerjakan amal shalih untuk hidupku ini.”

(QS. Al-Fajr [89] : 24).
  • (7). Satu maksiat akan mengundang maksiat lainnya, sehingga terasa berat bagi si hamba untuk meninggalkan kemaksiatan. Sebagaimana ucapan sebagian salaf:
 “Termasuk hukuman perbuatan jelek adalah pelakunya akan jatuh ke dalam kejelekan yang lain. Dan termasuk balasan kebaikan adalah kebaikan yang lain.
 Seorang hamba bila berbuat satu kebaikan maka kebaikan yang lain akan berkata, ‘Lakukan pula aku.’
 Bila si hamba melakukan kebaikan yang kedua tersebut, maka kebaikan ketiga akan berucap yang sama. Demikian seterusnya. Hingga menjadi berlipatgandalah keuntungannya, kian bertambahlah kebaikannya. Demikian pula kejelekan….”
  • (8). Maksiat akan melemahkan hati dan secara perlahan akan melemahkan keinginan seorang hamba untuk bertaubat dari maksiat, hingga pada akhirnya keinginan taubat tersebut hilang sama sekali.
  • (9). Orang yang sering berbuat dosa dan maksiat, hatinya tidak lagi (tidak sensitif/peka) merasakan jeleknya perbuatan dosa. Malah berbuat dosa telah menjadi kebiasaan. Dia tidak lagi peduli dengan pandangan manusia dan acuh dengan ucapan mereka. Bahkan ia bangga dengan maksiat yang dilakukannya.
Bila sudah seperti ini model seorang hamba, ia tidak akan dimaafkan, sebagaimana Sabda dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa sallam:
“Setiap umatku akan dimaafkan kesalahan/dosanya kecuali orang-orang yang berbuat dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk berbuat dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu dosa di waktu malam dan Allah menutup perbuatan jelek yang dilakukannya tersebut[2] namun di pagi harinya ia berkata pada orang lain, “Wahai Fulan, tadi malam aku telah melakukan perbuatan ini dan itu.” Padahal ia telah bermalam dalam keadaan Rabbnya menutupi kejelekan yang diperbuatnya. Namun ia berpagi hari menyingkap sendiri tutupan (tabir) Allah yang menutupi dirinya.” (HR. Al-Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 7410).
  • (10). Setiap maksiat yang dilakukan di muka bumi ini merupakan warisan dari umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
-Perbuatan HOMOSEKSUAL adalah warisan kaum Luth.
- Mengambil hak sendiri lebih dari yang semestinya dan memberi hak orang lain dengan menguranginya, adalah warisan kaum Syu’aib.
- Berlaku sombong di muka bumi dan membuat kerusakan adalah warisan dari kaum Fir’aun. Sombong dan tinggi hati adalah warisan kaum Hud.
  • (11). Maksiat merupakan sebab dihinakannya seorang hamba oleh Rabbnya.
Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan seorang hamba maka tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.
“Siapa yang dihinakan Allah niscaya tak ada seorang pun yang akan memuliakannya.” (QS. Al-Hajj [22] : 18).
Walaupun mungkin secara zhahir manusia menghormatinya karena kebutuhan mereka terhadapnya atau mereka takut dari kejelekannya, namun di hati manusia ia dianggap sebagai sesuatu yang paling rendah dan hina.
  • (12). Bila seorang hamba terus menerus berbuat dosa, pada akhirnya ia akan meremehkan dosa tersebut dan menganggapnya kecil. Ini merupakan tanda kebinasaan seorang hamba. Karena bila suatu dosa dianggap kecil maka akan semakin besar di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Al-Imam Al-Bukhari Rahimahullahu dalam Shahih-nya (no. 6308) menyebutkan ucapan sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu:
“Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”
  • (13). Maksiat akan merusak akal. Karena akal memiliki cahaya, sementara maksiat pasti akan memadamkan cahaya akal. Bila cahayanya telah padam, akal menjadi lemah dan kurang. 
Sebagian salaf berkata:
“Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hilang akalnya.”
Hal ini jelas sekali, karena orang yang hadir akalnya tentunya akan menghalangi dirinya dari berbuat maksiat. Ia sadar sedang berada dalam pengawasan-Nya, di bawah kekuasaan-Nya, ia berada di bumi Allah Subhanahu wa Ta’ala, di bawah langit-Nya dan para malaikat Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyaksikan perbuatannya. 
  • (14). Bila dosa telah menumpuk, hatipun akan tertutup dan mati, hingga ia termasuk orang-orang yang lalai. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya);
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin [83] : 14).
Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas: “Itu adalah dosa di atas dosa (bertumpuk-tumpuk) hingga mati hatinya.”[3]
  • (15). Bila si pelaku dosa enggan untuk bertaubat dari dosanya, ia akan terhalang dari mendapatkan doa para malaikat. Karena      malaikat hanya mendoakan orang-orang yang beriman, yang suka bertaubat, yang selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya);
“Malaikat-malaikat yang memikul Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabb mereka dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman, seraya berucap, ‘Wahai Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang shalih di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka semuanya. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha memiliki hikmah. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Orang-orang yang Engkau pelihara dari pembalasan kejahatan pada hari itu maka sungguh telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar’.” {QS. Ghafir (Al-Mu'min [40] ): 7-9}.
Demikian beberapa pengaruh negatif dari perbuatan dosa dan maksiat yang kami ringkaskan dari kitab Ad-Da`u wad Dawa`, karya Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullahu hal. 85-99.
Semoga dapat menjadi peringatan. Setiap hari kita tenggelam dalam kenikmatan yang dilimpahkan oleh Ar-Rahman. Nikmat kesehatan, keamanan, ketenangan, rezeki berupa makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Belum lagi nikmat iman bagi ahlul iman. Sungguh, dalam setiap tarikan nafas, ada nikmat yang tak terhingga. Namun sangat disesali, hanya sedikit dari para hamba yang mau bersyukur:
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mau bersyukur.”  (QS. Saba’ [34] : 13).
Kebanyakan dari mereka mengkufuri nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Atau malah mempergunakan nikmat tersebut untuk bermaksiat dan berbuat dosa kepada Ar-Rahman. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kepada mereka banyak kebaikan namun mereka membalasnya dengan kejelekan.



Begitu juga, jika kita  dianjurkan beristighfar, maka tentu saja ada banyak hadiah, rahasia, keajaiban dan manfaat yang akan dirasakan oleh mereka yang suka dan rutin membacanya. Apa-apa saja rahasia istighfar yang bisa Anda peroleh setelah Anda rutin membacanya ?

DIBALIK PERISTIWA DALAM ISTIGHFAR


GARA GARA ISTIGHFAR.... !!!

Imam Ahmad bin Hambal (murid Imam Syafi'i) dikenal juga sebagai Imam Hambali. dimasa akhir hidup beliau bercerita, "satu waktu (ketika saya sudah usia tua) saya tidak tau kenapa ingin sekali menuju satu kota di Irak,". Padahal tidak ada janji sama orang dan tidak ada hajat.
Akhirnya Imam Ahmad pergi sendiri menuju ke kota Bashroh. Beliau bercerita "Pas tiba disana waktu Isya', saya ikut shalat berjamaah isya di masjid, hati saya merasa tenang, kemudian saya ingin istirahat".
Begitu selesai shalat dan jamaah bubar, imam Ahmad ingin tidur di masjid, tiba-tiba Marbot masjid datang menemui imam Ahmad sambil bertanya "kenapa syaikh, mau ngapain disini?".

7 Rahasia Istighfar


ISTIGHFAR


Definisi Istighfar 
Istighfar berarti permintaan maghfirah, dan maghfirah berarti permintaan kepada Allah supaya dosanya ditutup dan diampuni. Permintaan supaya dosanya ditutup agar tidak diketahui oleh orang lain, sehingga namanya tercemar karena dosa itu. Oleh sebab itu pada hari qiyamat Allah akan berbicara dangan hamba-Nya yang beriman satu persatu untuk menanyakan dosa mereka, lalu mereka mengakui dosanya, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan berfirman:”Telah Aku tutupi dosa kalian di dunia dan hari Aku ampuni dosa kalian. 
Maka dari itu, salah satu dosa besar adalah seseorang memberitahukan dan menceritakan kepada orang lain tentang dosa yang telah dia lakukan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

Kamis, 21 April 2016

Kumpulan DOA

KUMPULAN DOA YANG DIBUTUHKAN

Kamis, 14 April 2016

Kesunyian Nasehat

NASEHAT ITU DALAM DALAM KESUNYIAN


Al-Kisah Wibawa...!!!
Harun ibn ‘Abdillah, seorang ulama ahli hadits yang juga pedagang kain di kota Baghdad bercerita:
Suatu hari, Saat malam beranjak larut, pintu rumahku di ketuk. “Siapa..?”, tanyaku.
“Ahmad”, jawab orang diluar pelan.
“Ahmad yang mana..?” tanyaku makin penasaran.
“Ibn Hanbal”, jawabnya pelan.
Subhanallah, itu guruku..!, kataku dalam hati.

Rabu, 13 April 2016

HUKUM MAKMUM PADA IMAM UMMI


Hukum Makmum Pada Imam UMMI

disertai penjelasan tentang ;
  1. hukum al-fatihah dalam sholat
  2. hukum makmum pada imam Ummi
  3. kesalahan bacaan al-Fatihah yang Merubah makna
  4. Kesimpulan dan Saran
Hukum alfatihah dalam sholat
Membaca Surat al Fatihah merupakan salah satu dari rukun yang dibaca di setiap rakaat shalat, pada shalat fardlu dan shalat sunnah, shalat jahar dan shalat sir. Kewajiban ini bagi imam, makmum, ataupun yang shalat sendirian -sebagaimana yang dicantumkan oleh Imam al Bukhari sebagai bab dalam kitab al Shalah- berbeda dengan pendapat para fuqaha yang terdahulu maupun sekarang.
Dan pendapat yang paling benar –wallahu a'lam- adalah pendapatnya imam al Syafi'i, imam al Bukhari, jama'ah ahli hadits, dan selainnya. Yaitu imam dan makmum wajib membaca surat al Fatihah baik dalam shalat jahriyah maupun shalat sirriyah.
Kesimpulan di atas didasarkan pada beberapa hadits berikut ini:
1.      Hadits Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Tidak sah shalat bagi yang tidak membaca al Fatihah.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)
2.      Dari Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:

 Barangsipa yang mengerjakan shalat dan tidak mmbaca Ummul Qur’an (al Fatihah) di dalamnya, maka shalatnya terputus –beliau mengucapkannya tiga kali- dan tidak sempurna. Dikatakan kepada Abu Hurairah radliyallaahu 'anhu, “sesungguhnya kami shalat di belakang imam.” Maka beliau berkata, “bacalah dalam hatimu.” (Hadits shahih riwayat. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah)
3.      Dari Ubadah bin Shamit berkata, “kami shalat Shubuh di belakang Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam lalu beliau membaca ayat dan kelihatannya beliau mendapat kesulitan dalam membacanya. Setelah selesai beliau bertanya, “barangkali kalian ikut membaca di belakang imam kalian?” kami menjawab, “benar, dengan suara lirih wahai Rasulullah.” Beliau bersabda:

لَا تَفْعَلُوا إِلَّا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَإِنَّهُ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا
Janganlah lakukan, kecuali membaca al Fatihah, karena tidak sah shalat bagi yang tidak membacanya.” (HR. Abu Dawud, hadits ini dicantumkan imam al Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim: IV/123)
Hukum makmum pada Imam salah baca al Fatihah
Diantara persyaratan seorang bisa menjadi imam dalam shalat adalah memiliki kemampuan untuk membaca Al Qur’an dengan benar dan memiliki sejumlah hafalan tertentu menjadi sebab sahnya shalat.
Persyaratan itu bisa dianggap jika orang-orang yang bermakmum kepadanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam membaca Al Qur’an.
tidaklah sah imamnya seorang yang ummi (tidak bisa baca Al Qur’an) terhadap orang yang bisa membacanya, tidaklah sah imamnya seorang yang bisu terhadap orang yang bisa membaca Al Qur’an atau terhadap orang yang ummi karena membaca adalah salah satu rukun didalam shalat. Tidaklah sah makmumnya seorang yang pandai membaca Al Qur’an dibelakang orang yang tidak pandai membacanya karena imam adalah penjamin dan yang bertanggungjawab terhadap bacaan makmumnya dan ini tidaklah mungkin terdapat didalam diri orang yang ummi.
Adapun imamnya seorang yang ummi untuk orang yang ummi juga atau bisu maka diperbolehkan, ini merupakan kesepakatan para fuqaha. Kemudian imamnya seorang yang selalu mengulang huruf fa’ atau ta’ atau yang melantunkan dengan suatu lantunan yang tidak merubah arti maka ia makruh menurut para ulama madzhab Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut para ulama Hanafi bahwa seorang yang selalu mengulang huruf fa’ atau ta’ atau yang mengucapkan huruf siin menjadi tsa atau ro’ menjadi ghoin atau sejenisnya maka ia dilarang untuk menjadi imam. Menurut para ulama Maliki keimaman mereka dibolehkan. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 2149)
Jumhur ulama (para ulama Hanafi, Maliki dan Hambali) menagatakan bahwa janganlah seorang makmum lebih kuat (mampu) keadaannya dalam membaca Al Qur’an daripada imamnya. Tidak diperbolehkan seorang pandai membaca Al Qur’an bermakmum dengan seorang yang ummi tidak dalam shalat wajib maupun sunnah. Tidak diperbolehkan seorang yang sudah baligh bermakmum dengan anak kecil, tidak diperbolehkan seorang yang mampu melakukan ruku’ dan sujud bermakmum dengan orang yang tidak mampu melakukan keduanya.
Demikian pula tidak sah makmumnya seorang yang sehat dibelakang orang yang sakit seperti penderita enuresis. Tidak sah makmumnya seorang yang menutup aurat dibelakang orang yang tampak auratnya sebagaimana pendapat para ulama Hanafi dan Hambali sementara hal itu dimakruhkan oleh Maliki,
Para ulama Hanafi menyebutkan sebuah kaidah dalam permasalahan ini,”Pada dasarnya keadaan imam walaupun seperti keadaan makmumnya atau lebih diatasnya maka shalat mereka semua dibolehkan. Akan tetapi jika imamnya dibawah kualitas makmum maka shalatnya imam sah dan shalat makmumnya tidaklah sah. Dan jika imamnya ummi sementara makmumnya seorang yang pandai membaca Al Qur’an atau imamnya bisu maka shalat imamnya juga tidak sah.
Para ulama Hanafi telah memperluas penerapan prinsip ini pada banyak permasalahan. Kadah ini diikuti oleh para ulama Maliki dan Hambali sementara para ulama Syafi’i menentang mereka dibanyak permasalahan. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal II 1899) Adapun jika dalam shalat berjama’ah, imam salah dalam membaca surat al Fatihah dan kesalahannya sampai merubah makna maka shalatnya batal, sebagaimana pendapat madhab Maliki. Seperti membaca (أَنْعَمْتَ : an'amta) dibaca (أَنْعَمْتُ : an'amtu), maka itu telah merubah makna dan ini membatalkan shalatnya. Bahkan, menurut Malikiyah, jika dia sengaja membaca seperti itu maka dia murtad. Sedangkan jika salah dalam membaca huruf  ض di baca ظ atau di antara keduanya, maka shalatnya sah.
Menurut Syaikh Musaid bin Basyir ‘Ali, Muhaddits dari Sudan, pendapat yang benar, shalat di belakang imam yang salah membaca al Fatihah adalah sah kecuali kalau kesalahannya itu sampai merubah makna. Dan apabila sampai merubah makna maka tidak boleh shalat di belakangnya kecuali dalam kondisi dharurat.
Ada pendapat dalam mazhab Syafi'i yang membolehkan bermakmum pada imam yang ummi. Abu Husain Al-Yamani dalam Al-Bayan fi Madzhab Al-Syafi'i hlm. 2/405-406 menyatakan:


والثالث خرجه أبو إسحاق المروزي على هذا التعليل: تصح صلاته خلفه بكل حال؛ لأن على القول الجديد، يلزم المأموم القراءة بكل حال، هذا مذهبنا.
Artinya: Pendapat ketiga dikeluarkan oleh Abu Ishaq Al-Maruzi berdasarkan alasan ini (yakni argumen bahwa tidak sahnya qari' bermakmum pada imam ummi karena imam menanggung Fatihah-nya makmum menurut qaul qadim): Sah shalat makmum di belakang imam yang ummi dalam segala keadaan. Karena, menurut qaul jadid, makmum wajib membaca Al-Fatihah dalam keadaan apapun (berjamaah atau sendirian). Ini adalah pendapat mazhab kita (Syafi'iyah).

Imam Syafi'i sendiri dalam qaul qadim menyatakan bahwa imam yang fasih fatihahnya sah bermakmum pada imam yang ummi asalkan dalam shalat sirriyyah (zhuhur dan ashar). Abu Husain Al-Yamani dalam Al-Bayan fi Madzhab Al-Syafi'i hlm. 2/405-406 menyatakan:

والقول الثاني قاله الشافعي في القديم : ( إن كانت الصلاة سرية صحت صلاة القاريء خلفه, وإن كانت جهرية.. لم تصح) لآن القراءة لا تجب على المأموم في الجهرية بل يتحملها الإمام على القول القديم وهذا الإمام عاجز عن التحمل, فلم تصح كالحاكم إذا كان لا يحسن الحكم فإنه لا يصح حكمه وإذا كانت سرية.. لزمت المأموم القراءة, وهو قادر عليها, فجاز له أن يأ تم بمن يعجز عنها, كصلاة القائم خلف القاعد
Artinya: Pendapat kedua dikatakan oleh Imam Syafi'i dalam qaul qadim: Apabila shalatnya sirriyyah maka sah shalatnya qari' (makmum yang fasih fatihahnya) di belakang imam yang ummi. Apabila shalat jahriyyah (maghrib, isya', shubuh) .. tidak sah. Karena, bacaan Al-Fatih itu tidak wajib bagi makmum pada shalat jahriyyah karena ditanggung oleh imam menurut qaul qadim sedangkan imam tersebut tidak mampu menanggungnya maka tidak sah shalatnya makmum sebagaimana hakim apabila tidak pandai hukum maka ia tidak sah keputusannya. Apabila shalat sirriyyah .. maka wajib bagi makmum membaca Al-Fatihah sedangkan dia mampu membacanya maka boleh baginya bermakmum pada imam yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan baik sebagaimana shalatnya makmum yang mampu berdiri di belakang imam yang duduk.
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa barangsiapa yang meninggalkan satu huruf dari huruf-huruf dalam surat al Fathihah dikarenakan kelemahan membacanya atau merubahnya dengan huruf yang lain, seperti orang yang al altsagh (merubah huruf ro’ menjadi ghoin), al arotti (orang yang mengidghomkan satu huruf ke huruf lainnya) atau melagukan dengan dengan lagu yang merubah makna seperti orang yang mengkasrohkan huruf kaf pada iyyaka atau orang yang mendhommahkan huruf ta’ pada an’amta dan tidak mampu memperbaikinya maka orang itu adalah seperti seorang yang ummi dan tidak diperbolehkan bagi seorang yang pandai membaca al Qur’an bermakmum kepadanya.
Dan diperbolehkan bagi setiap mereka menjadi imam bagi orang yang memiliki bacaan seperti dirinya karena keduanya adalah orang yang ummi, diperbolehkan bagi salah seorang dari mereka berdua menjadi imam bagi seorang lainnya seperti dua orang yang tidak bisa memperbaiki bacaannya sedikit pun.
Sedangkan apabila seorang yang mampu memperbaiki bacaannya namun ia tidak melakukannya maka shalatnya tidak sah begitu juga dengan shalat orang yang bermakmum dengannya. (al Mughni juz II hal 411)
Mufaraqah Dari Imam Sholat Yang Buruk Bacaannya
Tentang niat mufaroqoh (memisahkan diri) seorang makmum dari imam lalu dia menyelesaikan shalatnya sendirian baik karena adanya uzur atau tidak maka ini boleh meskipun makruh menurut para ulama Syafi’i karena ia memisahkan diri dari berjama’ah yang merupakan kewajiban atau sunnah yang muakkad.
Sedangkan menurut para ulama Hambali bahwa mufaroqoh dibolehkan jika terdapat uzur. Sedangkan jika tidak terdapat uzur didalamnya maka dalam hal ini terdapat dua riwayat, pertama : shalat orang yang mufaraqoh itu tidak sah, pendapat inilah yang benar. Kedua : shalatnya sah.
Para ulama Syafi’i mengecualikan pada shalat jum’at…
Diantara perkara-perkara yang dikatakan uzur seperti : panjanganya bacaan imam, meninggalkan salah satu sunnah shalat seperti tasyahhud awal, qunut—maka dirinya boleh mufaroqoh dengan mengerjakan sunnah itu—atau sakit, khawatir dirinya diserang rasa ngantuk, terdapat sesuatu yang merusak shalatnya, takut hartanya hilang atau rusak, ketinggalan rombongan, atau terdapat orang yang meninggalkan shaff lalu tidak ada orang menggantikannya untuk berdiri disampingnya.
Dalil mereka adalah apa yang disebutkan didalam ash shahihain,”Bahwa Muadz melaksanakan shalat isya bersama para sahabatnya dan ia memanjangkan (bacaannya) lalu terdapat seorang laki-laki yang keluar (dari shaff) dan mengerjakan shalat. Kemudian Muadz mendatangi Nabi saw dan menceritakannya dan Rasulullah saw pun marah dan mengingkari apa yang dilakukan Muadz dan beliau saw tidak mengingkari apa yang dilakukan lelaki itu serta beliau saw tidak memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.”
Para ulama Hanafi mengatakan bahwa boleh seorang makmum melakukan salam sebelum imam meski hal itu makruh, akan tetapi mereka tidak mempebolehkan melakukan mufaroqoh. Sedang para ulama Maliki mengatakan barangsiapa yang bermakmum dengan seorang imam maka tidak boleh baginya melakukan mufaroqoh. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz II 1227)
Jadi mufaroqoh yang anda lakukan ketika terdapat uzur termasuk bacaan imam yang tidak baik dalam al Fatihah diperbolehkan menurut madzhab Syafi’i dan Hambali. Meskipun hal itu diperbolehkan akan tetapi apabila dilakukan terus menerus tentunya akan menjadi perhatian para makmum lain yang ada di sekitar anda bisa jadi diantara mereka terdapat orang-orang awam yang tidak memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat secara baik sehingga dikhawatirkan memunculkan fitnah karena ketidaktahuan mereka.
Untuk itu ada baiknya anda mengingatkan permasalahan ini kepada imam tersebut dengan cara yang penuh hikmah dan bijaksana serta sebisa mungkin dilakukan secara sembunyi antara anda dan dirinya saja dan meminta agar yang bersangkutan memperbaiki bacaannya atau jika tidak bisa agar menyerahkan keimamannya kepada orang yang lebih baik bacaannya.
Jika nasehat atau peringatan yang anda sampaikan kepadanya tidaklah diterima atau dijalaninya sehingga orang itu tetap saja bersikukuh untuk menjadi imam shalat-shalat fardhu di masjid anda sementara kualitas bacaannya masih tidak baik (buruk) maka hendaklah anda mencari masjid lain sekitar rumah anda yang bacaan imamnya baik meski hal itu menjadikan berkurangnya jumlah makmum di masjid tempat anda. Dikarenakan sahnya shalat seseorang didalam shalat berjama’ah dipengaruhi juga oleh kualitas bacaan imam. Oleh karena itu setiap orang bertanggung jawab untuk menentukan siapa imam shalatnya sehingga shalatnya menjadi sah.
Bila makmum mengetahuinya setelah rampung shalat maka wajib mengulang shalatnya kalau mengetahuinya ditengah-tengah shalat maka ia wajib memutus shalatnya dan memulai lagi

( ولو اقتدى بمن ظنه أهلا ) للإمامة ( فبان خلافه ) كأن ظنه قارئا أو غير مأموم أو رجلا أو عاقلا فبان أميا أو مأموما أو امرأة أو مجنونا أعاد الصلاة وجوبا لتقصيره بترك البحث في ذلك
( قوله أعاد ) أي المقتدي وهو جواب لو ومحل الإعادة إن بان بعد الفراغ من الصلاة فإن بان في أثنائها وجب استئنافها
Bila ia (seorang laki-laki) bermakmum pada imam yang menurut prasangkanya ahli/mahir untuk menjadi imam tetapi kenyataannya berbeda seperti ia menyangka imamnya Qaari’ (ahli baca alQuran) atau bukan berstatus makmum atau laki-laki, atau berakal tapi kenyataannya imamnya UMMI (tidak fashih baca alquran) atau berstatus makmum pada orang lain atau perempuan atau gila maka ia wajib mengulang shalatnya karena sembrononya dalam rangka tidak mau meneliti imamnya terlebih dahulu sebelum shalat.
(keterangan maka ia wajib mengulang) bila kejelasan kenyataan imamnya setelah ia rampung shalat tapi bila kejelasannya ditengah-tengah shalat maka ia wajib memutuskan shalatnya dan memulainya dari awal lagi. I’aanah at-Thoolibiin II/52

KESALAHAN AL-FATIHAH YANG MERUBAH MAKNA
Imam An-Nawawi -rohimahulloh- berkata:
إِذَا لحن فِي الفَاتِحَةِ لَحْناً يُخِلُّ المَعْنَى لَمْ تَصِحْ قِرَاءَتُهُ وَصَلاَتُهُ إِنْ تَعَمَّدْ، وَتَجِبُ إِعَادَةَ القِرَاءَة إِنْ لَمْ يَتَعَمَّدْ، وَإِنْ لَمْ يُخِلْ المَعْنَى لَمْ تَبْطُلْ صَلاَتُهُ وَلاَ قِرَاءَتُهُ، وَلِكَنِّهُ مَكْرُوْهٌ وَيحرم تَعَمَّدُهُ، وَلَوْ تَعَمَّده لَم تَبْطُلْ قِرَاءَتُهُ وَلاَ صَلاَتُهُ. اهـ
“Apabila salah dalam membaca Al-Fatihah yang merusak maknanya, maka tidak sah bacaan dan sholatnya dengan syarat ia sengaja dalam melakukan hal itu, dan wajib mengulangi bacaannya apabila ia tidak sengaja melakukannya.
Dan kalau tidak merusak makna, maka tidak batal sholat dan bacaannya, akan tetapi makruh dan harom hukumnya apabila ia sengaja melakukannya, kalaupun sengaja melakukannya maka tidak batal  bacaannya.” [lihat “Majmu’” (3/393)]

AL-FAATIHAH

(PEMBUKAAN)

بسم الله الحمن الرحيم

[1] Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
~ Penambahan satu titik pada huruf ha’ di kata yang terakhir (ar-rohiim) menjadi (ar-rokhiim) ternyata mengubah arti.
·        رَحِيْم = penyayang

·        رَخِيْم = merdu

الحمدلله رب العالمين 

[2] Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

~ Perubahan huruk ha’ pada kata yang pertama (al-hamdu) menjadi kaf (al-kamdu) juga mengakibatkan perubahan makna.
·        اَلْحَمْدُ = pujian/segala puji

·        اَلْكَمْدُ = penderitaan, kesedihan yang sangat, kesuraman
SALAH

االهمدلله
Segala diam, pasif dan mati untuk ALLAH Tuhan Pemelihara segala penyakit.
Jangan menyamakan ع dengan ؤ ئ أ


الرحمن الرحيم

[3] Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

~ Penambahan satu titik pada huruf ha’ di kata yang terakhir (ar-rohiim) menjadi (ar-rokhiim), sebagaimana telah disebutkan dalam ayat ke-1, ternyata mengubah arti.
·        رَحِيْم = penyayang

·        رَخِيْم = merdu
Atau bacaan
Mengganti ح dengan خ
Maha Menurunkan penyakit melalui hujan gerimis yg berkepanjangan.

مالك يوم الدين

[4] Yang menguasai Hari Pembalasan.
~ Lafal maaliki boleh dibaca panjang (maaliki) yang berarti pemilik atau yang menguasai, dan boleh juga dibaca pendek (maliki) yang berarti Raja.
Atau kaf panjang dapat mengubah makna
مالكي يوم الدين
Yang Menguasaiku / Yang menjadi Tuhanku adalah hari pembalasan. (bukan ALLAH tuhanku).
nb : memberi spasi di MALIKI ,-, YAUMIDDIN  saat membaca ayat ini adalah sama dengan memanjangkan bacaaan 
مالك menjadi مالكي.

 إياك نعبد وإياك نستعين
[5] Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
 اِيَّاكَ  = hanya Engkau
Iyyaaka na’budu = hanya Engkau yang kami sembah.
Wa iyyaaka nasta’iin = dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
SALAH
إيياكا نأبد وإيياكا نستئين

Kami lebih abadi dari Engkau, dan kami minta perpanjangan waktu.
Jangan memanjangkan bacaan pendek dan jangan memendekkan bacaan panjang
Jangan menukar ع dengan إ ؤ ئ / ء
~ Penghilangan tasydid atau syiddah pada lafal iyyaaka menjadi iyaaka ternyata mengakibatkan perubahan makna yang sangat fatal.
اِيَاكَ  = cahaya matahari-Mu
Iyaaka na’budu = kepada cahaya matahari-Mu kami menyembah.

Wa iyaaka nasta’iin = dan kepada cahaya matahari-Mu kami meminta pertolongan. . [lihat “Mu’jam” Al-Manaahiy Al-Lafdziyyah” (91)]


 إهدنا الصراط المستقيم
[6] Tunjukilah kami jalan yang lurus,
Menfathahkan hamzah washl pada kalimat (اِهْدِنَا) yang menjadi (اَهْدِنَا) yang maknanya adalah berikanlah kami hadiah. [lihat “Hasyiyah Ar-Roudh” (2/312) Mumti’ (3/80).
SALAH
إهدنا السرات المستكيم
Berikan kami sertifikat segundikan seperti gundukan punuk onta.
Jangan mengganti 
ص dengan س
ط dengan ت
ق dengan ك

 صراط الذين انعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالّين
[7] (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
SALAH
سرات الذين انئمت اليهم كير المكدوب اليهم ولا الدالّين
yaitu sertifikat org org yg kau beri seperti auman singa yg keras dan sertifikat seujung kuku dan sertifikat yg ngeles.
Jangan menukar 
ص dengan س
ع dengan ئ ؤ أ ء
غ dengan ك
ض dengan د

KESIMPULAN DAN SARAN
Al-fatihah adalah salah satu-satunya surat yang wajib dalam sah sholat, sekaligus himpunan keseluruhan dalam al-qur’an, meninggalkan surat al-fatihah dalam sholat menjadi problematic fatal dalam keabshahan sholat. Maka dari itu, harus menjadi perhatian khusus kita dalam belajar al-qur’an terutama untuk generasi penerus perjuangan hidup kita menegakkan kalimah Allah.
Apalagi jika terkait dengan sholat berjama’ah, merupakan satu kesatuan bersama melaksanakan ibadah sholat, yang mana berujung tombak pada seorang imam (pemimpin dalam sholat). Para imam madzhab melarang untuk tidak bermakmum pada imam yang ummi bagi yang bacaan berkualitas lebih baik. Adapun Hokum keabshahan bermakmum pada imam yang ummi terbagi menjadi beberapa penjelasan, sebagai berikut :
  1. Shalat di belakang imam yang salah membaca al Fatihah dengan kesalahan itu sampai merubah makna, Menurut Maliki, Hanafi dan Hambali.
  1. Sedang Bagi Syafi’iyah, terjadi pergeseran pendapat hokum serta hal yang diperincikan selain antara Qoul Qadim dan Qoul Jadid, dengan penjelasan berikut :
Imam Syafi'i dalam qaul qadim: Apabila shalatnya sirriyyah maka sah shalatnya qari' (makmum yang fasih fatihahnya) di belakang imam yang ummi. Apabila shalat jahriyyah (maghrib, isya', shubuh) .. tidak sah. Karena, bacaan Al-Fatih itu tidak wajib bagi makmum pada shalat jahriyyah karena ditanggung oleh imam menurut qaul qadim sedangkan imam tersebut tidak mampu menanggungnya maka tidak sah shalatnya makmum sebagaimana hakim apabila tidak pandai hukum maka ia tidak sah keputusannya. Apabila shalat sirriyyah .. maka wajib bagi makmum membaca Al-Fatihah sedangkan dia mampu membacanya maka boleh baginya bermakmum pada imam yang tidak mampu membaca Al-Fatihah dengan baik sebagaimana shalatnya makmum yang mampu berdiri di
  1. Sedangkan jika kesalahan bacaan Al-fatihah tidak merubah Makna maka terjadi perselisihan hokum antara diperbolehkan (Mubah) menurut Maliki, Makruh menurut Syafi’I dan Hambali, serta terlarang (tidak sah, pen ) bagi pendapat Hanafi. Diantara perselisihan tersebut menghukumi makruh (larangan tapi tak berdampak pada keabshahan) terasa menjadi pilihan tepat.
 demikian... jika terdapat kesalahan mohon untuk dikritik, saran dan diperbaiki dalam rangka membangun demikian terima kasih.